Say No To Bullying

Oleh: Sil Joni, Guru SMK Stella Maris Labuan Bajo

ESENSi dari aktivitas pendidikan adalah ‘pemanusiaan manusia (humanisasi)’.
Sekolah merupakan salah satu lokus ideal termanifestasinya proses humanisasi tersebut. Karena itu, proses pendidikan yang berlangsung dalam ‘domain sekolah’ mesti dijiwai oleh semangat yang humanis. Pola, strategi, metode, dan pendekatan yang dipakai dalam ‘mendidik anak’, harus mencerminkan penghargaan terhadap unsur kemanusiaan itu.

Dengan demikian, sekolah menjadi ‘taman belajar’ yang menyenangkan bagi anak. Pola interaksi dan komunikasi dalam lingkungan persekolahan mesti berlangsung dalam suasana yang menjunjung tinggi ‘martabat anak sebagai manusia’.

Cara mendisiplinkan siswa yang bersifat koersif dan represif, tentu sangat tidak dianjurkan. Para guru mesti tampil sebagai pribadi yang simpatik dan inspiratif bagi siswa.

Ketika kehadiran guru begitu berkesan di hati siswa, maka perasaan at home (betah) akan tumbuh secara natural.

Pola interaksi dan komunikasi yang manusiawi juga tidak hanya terfokus pada ‘hubungan antara guru dan peserta didik’, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah pola relasi antara sesama siswa.

Dalam beberapa tahun terakhir kisah-kisah seputar ‘tindakan perundungan (bullying)’ yang dilakukan siswa terhadap temannya, mendapat tanggapan dan perhatian serius semua elemen masyarakat.

Tetapi, sebetulnya tindakan bullying ini sudah sangat sering dipraktikkan di lembaga pendidikan, bahkan telah ‘mengakar’ sehingga sulit untuk diubah. Masalahnya adalah para siswa dan mungkin juga para guru kurang mengetahui esensi dan dampak dari tindakan bullying. Pelbagai aksi, yang secara gamblang, masuk dalam kategori bullying, diterima begitu saja, sebagai hal yang wajar (taken for granted).

Sebagai salah satu SMK Pusat Keunggulan (PK) dan Sekolah Penggerak, SMK Stella Maris berkomitmen untuk menghentikan tindakan bullying yang seolah menjadi budaya itu. Sosialisasi dan edukasi soal esensi dan efek dari tindakan bullying terus dilakukan baik kepada siswa maupun kepada para guru.

Bullying dan pelbagai bentuk kekerasan lainnya menjadi musuh bersama yang harus hilangkan dari lembaga ini.

Tentu, gerakan untuk menyingkirkan praktik perundungan ini, dilatari oleh kesadaran bahwa bullying merupakan kasus yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan. Kasus-kasus itu terkadang dipandang sebelah mata dan dianggap ‘wajar’ untuk dilakukan. Tidak heran jika kasus ini mengakar dan sulit dihilangkan. Untuk itu, upaya penyadaran akan bentuk dan dampak destruktif dari tindakan bullying, sangat urgen saat ini.

Secara sederhana, bullying didefinisikan sebagai perilaku agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih lemah di mana seorang peserta didik atau lebih secara terus menerus melakukan tindakan yang menyebabkan peserta didik lain menderita.

Posisi korban yang lemah, dilihat sebagai pintu masuk untuk terus melakukan aksi bullying itu.

Tragisnya, tindakan itu disaksikan secara langsung oleh teman-teman yang lain.
Jika aksi bullying ini, terus dilakukan di sekolah, maka rasanya sulit sekali untuk mengubah suasana sekolah menjadi ‘rumah’ yang menyenangkan. Padahal, sekolah itu bukan hanya menyangkut bangunan fisik yang megah atau mentereng, tetapi yang paling penting adalah suasana manusiawi yang terjalin di antara para anggotanya.

Sedangkan dalam pandangan Barbara Coloroso, bullying adalah aktivitas sadar, disengaja, dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjut, dan menciptakan teror.

Jadi, bullying bisa dikatakan sebagai tindakan yang disengaja dilakukan berulang-ulang dengan adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban.

Tentu, tidak cukup jika kita hanya ‘mengetahui batasan konseptual’ dari tindakan bullying itu. Di samping konsep teoretis, kita perlu mengidentifikasi tipe-tipe konkret dari bullying. Secara umum, tindakan perundungan itu dilakukan dalam tiga ranah berikut. Pertama, secara verbal. Maksudnya, tindakan bullying dengan menggunakan kata-kata seperti mengejek, menggoda, saling mengolok, dan menyebar rumor (negatif).

Kedua, pada ranah fisik. Artinya, tindakan itu dilakukan secara fisik dan tertuju pada bagian fisik dari korban seperti memukul, menendang, mendorong, merusak atau mencuri barang. Mengajak teman untuk membuat keonaran, juga masuk dalam kategori bullying fisik itu.
Ketiga, kategori non verbal/non fisik. Maksudnya, tindakan bullying yang tidak dilakukan secara verbal dan tidak juga menggunakan unsur fisik.

Contohnya adalah mengucilkan anggota kelompok, memanipulasi persahabatan, dan memberi email yang bersifat intimidatif.

Dari tiga jenis bullying di atas, jenis yang terkadang dianggap sepele yaitu bullying verbal.
Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku bulling verbal acap kali terjadi namun dianggap hanya lihat sebagai guyonan belaka dan wajar dilakukan oleh peserta didik.

Padahal, agresi verbal semacam itu bisa sangat ‘menusuk’ atau melukai hati seseorang. Dampak bullying verbal, bahkan dalam kasus tertentu begitu dahsyat melampaui bullying fisik. Jika sejak dini individu sudah menerima perilaku yang tidak menyenangkan, individu tersebut berkecenderungan menarik diri dari kehidupan sosialnya dan memiliki kepercayaan diri yang cenderung rendah.

Mengingat efek dari tindakan perundungan itu sangat negatif bagi perkembangan kepribadian dan level capaian akademik sisa, maka kita perlu mengambil sikap atau posisi yang tegas. Katakan tidak pada perundungan (say no to bullying). Bullying adalah ‘virus ganas’ yang merusak sistem imunitas kebaikan anak.

Oleh sebab itu, sebagai pendidik ataupun orang dewasa yang berada di lingkungan peserta didik, hendaknya kita memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap hal-hal yang menjurus ke tindakan bullying. Kebanyakan peserta didik tidak menyadari bahwa yang ia lakukan tersebut melukai dan termasuk dalam bullying.

Kesadaran dan pengetahuan akan informasi tentang bullying hendaklah disampaikan kepada peserta didik sebagai upaya pencegahan dan meminimalisasi kasus bullying yang seakan menjadi budaya di sekolah.

Tugas untuk ‘menghentikan laju aksi bullying ini, tidak bisa dibebankan kepada pribadi tertentu seperti para guru Bimbingan dan Konseling (BK).

Melenyapkan virus bullying menjadi tanggung jawab warga sekolah, mulai dari pimpinan, para guru, para pegawai, orang tua, dan para siswa. Para guru mesti berada pada garda terdepan untuk memperlihatkan sikap ‘anti bullying‘ dalam membangun relasi dan komunikasi di lingkungan sekolah.

SMK Stella Maris sedang merancang dan menerapkan sebuah program khusus untuk mencegah tindakan bullying terus menjalar di sekolah.

Sekitar 30-an siswa yang dipandang ‘berkarakter baik’ akan dipilih untuk menjadi semacam ‘duta anti perundungan di sekolah’. Mereka akan dilatih dan dibimbing secara intensif untuk menjabarkan aura positif kepada kelompok sebaya dalam sikap dan perbuatan setiap hari.
Sekali lagi, say no to bullying itu bukan slogan atau propaganda murahan semata. Proposisi itu menjadi ‘roh penggerak’ bagi setiap warga sekolah untuk berpartisipasi dalam sebuah ‘gerakan anti perundungan’.

Dasarnya adalah bullying itu ‘virus’ yang sangat berbahaya’ bagi proses tumbuh kembang anak.(*)

Bagikan