Membrantas Mafia Tanah di Kabupaten Nagekeo

Oleh : Muhammad Dedi Ingga, SH

KEMENTERIAN Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai institusi yang paling bertanggungjawab dalam administrasi pertanahan terhadap mafia tanah. Keberadaan mafia tanah masih menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya masalah pertanahan di Indonesia. Mafia tanah memanfaatkan kelangkaan tanah dan kealpaan pihak-pihak terkait pertanahan untuk berbagai kepentingan.

Penyebab  dari sengketa pertanahan adalah nilai ekonomis tanah yang cukup tinggi dan tanah merupakan simbol eksistensi dan status sosial di tengah masyarakat, sehingga mengakibatkan timbulnya konflik pertanahan yang vertikal dan horizontal.

 Kompleksitas sengketa tanah ditandai dengan intensitas konflik agraria yang Semakin meningkat dari hari ke hari. Hal ini Terus terjadi karena hadirnya mafia tanah yang semakin hari semakin bertambah banyak dan sangat intens dalam memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat dalam memahami hukum agraria.

Kondisi ini menjadi ruang bagi mafia tanah dalam menjalankan misi untuk kepentingan pribadinya atau kelompok tertentu. Menurut Winardi, sengketa pertanahan adalah pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu obyek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

Pengertian sengketa pertanahan dirumuskan dalam pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, selanjutnya disebut PMNA/KBPN 1/1999, yaitu perbedaan pendapat antara pihak yang berkepentingan mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah, termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut.

Konflik pertanahan yang terjadi selama ini berdimensi luas, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal.  Konflik vertikal yang paling dominan yaitu antara masyarakat dengan pemerintah dan konflik horizontal antara masyarakat.

Misalnya, salah satu kasus yang paling menonjol adalah kasus yang paling sering terjadi adalah permasalahan sertifikat ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat pada sebuah bidang tanah, tumpang tindih sertifikat atau sertifikasi tanah yang objek tanah tidak diketahui oleh pemegang sertifikat.

Menyikapi persoalan mafia tanah dan sengketa pertanahan yang semakin hari semakin bertambah, maka melalui tulisan ini penulis berharap agar segera dibentuk satuan tugas pemberantasan mafia tanah di Kabupaten Nagekeo.

Pembentukan mafia tanah diharapkan membantu memberantas mafia tanah di Kabupaten Nagekeo, sehingga masyarakat dapat memiliki kepastian hukum atas tanah serta dapat mempercepat proses pembangunan di Kabupaten Nagekeo.

Pembentukan Satgas pemberantasan mafia tanah di Kabupaten Nagekeo dapat melibatkan BPN Kabupaten Nagekeo melalui Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah, Kepolisian Resort Nagekeo, tokoh adat, dan tokoh masyarakat.

Program  Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Nomor : 12 Tahun 2017 tentang PTSL dan Instruksi Presiden Nomor :  2 Tahun 2018 untuk memastikan administrasi pertanahan dan juga kepastian hukum pertanahan bagi masyarakat yang memegang sertifikat.

Di Nagekeo,  sejumlah PTSL justru menambah persoalan baru. Hal ini ditandai banyaknya objek sertifikat program PTSL tidak diketahui oleh pemegang sertifikat. Semoga ini menjadi evaluasi tersendiri bagi BPN Nagekeo. (***)

Bagikan