Atraksi Seni Budaya Lokal dan Mimpi Sejuta Turis

Oleh : Sil Joni, Warga Watu Langka, Manggarai Barat

SENI berbasis tradisi lokal, dalam era globalisasi industri turisme, bisa menjadi salah satu produk wisata unggulan.

Karena itu, kita sering menjumpai kegiatan pementasan atraksi seni dalam pelbagai momen demi untuk memuaskan dahaga estetis para wisatawan. Bahkan, para pengambil kebijakan dalam bidang kepariwisataan mendesain agenda pementasan atraksi seni yang dilaksankan secara reguler setiap tahun. Namun, agenda rutin yang sudah disepakati itu, terpaksa tidak dijalankan pada masa pandemi covid-19 yang menerjang publik secara global hampir dua tahun terakhir.

Kegiatan yang bertajuk festival seni itu, tentu bisa menjadi produk wisata yang dipasarkan kepada konsumen (wisatawan).

Keberadaan festival semacam itu, jelas menambah khazanah atraksi yang sebelumnya kerap dipentaskan oleh berbagai sanggar/komunitas seni di sebuah desa (wisata). Intinya, rancangan kegiatan semacam itu dilatari oleh intensi dan motivasi menggaet simpati wisatawan untuk menjadikan sebuah daerah sebagai destinasi favorit.

Melalui penonjolan seni tradisi itu, mimpi sejuta turis lekas termanifestasi.

Pada masa pemerintahan Agustinus Ch. Dulla, tepatnya Tahun 2017, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) pernah menyelenggarakan sebuah festival seni yang secara populer disebut ‘Festival Komodo’.

Festival itu dibuat sebagai salah satu dari serangkaian kegiatan dalam memeriahkan dan memaknai Hari Ulang Tahun Mabar ke-14 yang jatuh pada tanggal 25 Februari 2017.
Kegiatan festival itu berlangsung satu bulan (4 Februari sampai 4 Maret).

Pelataran obyek wisata Batu Cermin dijadikan panggung terbuka untuk mementaskan pelbagai kreativitas seni yang bernuansa tradisional. Hajatan itu, konon menyedot anggaran yang fantastis sekitar Rp 1,5 miliar.

Sayangnya, sampai detik ini, kita belum mendapatkan semacam evaluasi komprehensif perihal dampak positif dari kegiatan festival itu. Berdasarkan evaluasi itu, pemerintah daerah (Pemda) boleh menjadikan ‘Festival Komodo’ sebagai salah satu event tahunan yang digelar secara rutin di Mabar.

Padahal, waktu, tenaga, dan biaya yang sudah terkuras semestinya dibayar dengan pencapaian intensi mulia dibalik pelaksanaan event seni itu kelak. Setidaknya, ada sesuatu yang begitu vital yang hendak ‘diburu’ Pemda pasca Festival Komodo (FK) itu.

Mengacu pada pencapaian itu, Pemda bisa mendesain sebuah kalender program tahunan dimana FK menjadi salah satu item kegiatan.

Atraksi

Sektor turisme umumnya berurusan dengan lima hal, yaitu aksesibilitas, akomodasi, atraksi, aktivitas, dan amenitas. Pertunjukkan seni budaya merupakan bagian penting dari aspek atraksi dan aktivitas.

Para wisatawan ingin memburu eksotisme dan sensualitas obyek wisata.

Salah satu dari atraksi dan aktivitas itu adalah pergelaran seni tradisi.

Saya kira, bidang seni dan kebudayaan ini belum digarap secara optimal di Mabar selama ini.
Masih banyak produk seni lokal yang belum digali dan dipamerkan secara kreatif dalam pasar pariwisata. Padahal, kita tahu bahwa tidak sedikit pengunjung atau wisatawan memiliki hasrat kuriositas yang besar tentang keunikan dan keberagaman artefak kultural kita.

Jadi, seharusnya ada sesuatu yang disuguhkan secara atraktif kala para turis berkelana di wilayah kita. Obyek wisata alam masih menjadi kekuatan utama pariwisata di daerah itu.
Penyelenggaraan FK sebenarnya bisa menjadi semacam titik balik (turning point) kegigihan kita dalam mengeksplorasi kekayaan seni berbasis kearifan lokal. Sayangnya, kegiatan itu hanya bersifat temporer dan terkesan seremonial belaka.

Buktinya, sudah cukup lama, kita tidak pernah mendengar dan menonton program pementasan atraksi seni yang difasilitasi oleh Pemda Mabar.

Kehadiran Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BPOLBF) juga sama sekali tidak membantu untuk menggarap dan melaksanakan festival seni yang dikemas sebagai salah satu ‘produk wisata budaya’ di daerah ini.

Program pemberdayaan dan fasilitasi yang diinisiasi BPOLBF rasanya belum menjangka luas dan dalamnya kandungan seni tradisi di Mabar.

Melalui FK, sebenarnya Pemda Mabar sudah membuka mata kita bahwa Mabar tidak hanya mengandalkan obyek wisata bahari dan alam saja, tetapi juga obyek wisata budaya dan sejarah yang tidak kalah mengagumkannya. Dengan demikian, paket wisata yang ditawarkan kepada pelanggan semakin variatif dan atraktif.

Semestinya Pemda dan pemangku kepentingan lainnya mulai memikirkan alternatif baru untuk mendukung dan bahkan melampaui kemasyuran biwak purba (Komodo) yang sudah menjadi ikon dan branding pariwisata Mabar.

Pemda sudah mendapat gambaran mengenai komoditas pariwisata lain yang mesti dikelola secara profesional dan mendapat perhatian serius dalam mengeksekusi kebijakan politik berbasis kepariwisataan.

Namun, dalam ranah praksis, ideal semacam itu belum diimplementasikan dengan baik.
Pada sisi yang lain, para pelaku wisata sudah bisa ‘menyeleksi’ kira-kira atraksi seni mana yang layak dihidangkan kepada para wisatawan berdasarkan studi observasi dan keterlibatan dalam setiap pementasan seni dari berbagai komunitas di wilayah ini.

Jadi, sebetulnya Kabupaten Mabar tidak pernah kekurangan stok obyek wisata.
Kita memiliki keunggulan komparatif yang sangat istimewa. Hanya saja modal alamiah ini belum mendapat jamahan yang semestinya dari para pengambil kebijakan. Efeknya adalah sektor kepariwisataan belum berdampak signifikan dalam mengurangi atau menekan laju angka kemiskinan di wilayah ini. Mayoritas warga masih digerogoti problem keterbelakangan yang sangat mencemaskan. Sebuah realitas paradoks yang entah kapan akan terpecahkan.
Fajar harapan baru mulai terbit. Beberapa sanggar atau komunitas seni, semakin kreatif menggarap dan memperlihatkan dimensi lokalitas yang bercita rasa seni dengan kemasan dan mutu yang relatif terjaga. Pementasan atraksi seni sudah menjadi salah satu ‘produk wisata’ di beberapa Desa Wisata.

Harapannya adalah Pemda dan BPOLBF bisa mengakomodasi dan memberdayakan potensi seni dengan segala kekayaannya dalam bentuk kebijakan yang pro pada kepentingan masyarakat lokal.

Modal kultural yang beragam itu, tidak sekadar untuk diafirmasi eksistensinya, tetapi mesti menembus level transformasi kehidupan warga.

Artinya, kekayaan budaya tersebut harus dikonversi menjadi aset yang sanggup mengubah kehidupan warga. Tentu, ini sebuah tanggung jawab yang tidak ringan. Ia membutuhkan komitmen dan kemauan politik yang serius dan tulus.

Pergelaran kreativitas seni, baik yang diinisiasi oleh kelompok Sanggar, maupun yang difasilitasi oleh Pemda, tidak sekadar ornamen pelengkap untuk menambak semarak sebuah kegiatan atau perayaan. Kita tidak ingin atraksi seni budaya itu hanya bersifat euforia semata.

Atraksi seni adalah salah satu ‘batu tungku’ dan pintu masuk meroketnya daya magis sektor kepariwisataan kita. Dengan demikian, mimpi menghadirkan sejuta turis di Labuan Bajo bukan isapan jempol atau mimpi di siang bolong. Mengapa? Alam dan kultur kita, menjadi magnet yang menghipnotis para pelancong di seluruh penjuru dunia. (*)

Bagikan