Korelasi Filosofi Pratap Triloka KHD Dalam Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran  

SUDAH tujuh bulan penulis menjalani Pendidikan Guru Penggerak.

Sejak Juli penanggalan kedua belas, Tahun 2021, penulis berkutat dengan aktivitas dan kegiatan dalam Program Pendidikan Guru Penggerak, Angkatan 3, Kabupaten Manggarai. Banyak suka dan duka telah dilalui hingga saat ini.

Ada banyak kisah, pengalaman, pelajaran hidup telah dan akan diperoleh melalui berbagai rangkaian kegiatan dalam program tersebut.

Sejak awal kegiatan ini, penulis merasa terberkati mendapatkan kesempatan untuk turut mengambil bagian dalam program yang sungguh bernas tersebut.

Begitu banyak hal telah penulis temukan dalam kegiatan ini.

Materi pembelajaran yang disajikan melalui modul pembelajaran telah memberikan energi dan asupan pengetahuan baru bagi penulis untuk bisa menjadi referensi, menjadi landasan, menjadi acuan, menjadi kompas, bahkan menjadi harta yang tak ternilai dalam meningkatkan kapasitas diri sebagai orang yang diguguh dan ditiru di era Pendidikan Four-Point Ought. Memulai dari materi pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan, dimana guru harus mampu menjadikan sekolah sebagai taman yang selalu memberikan kebahagiaan bagi anak murid, penulis dibekali dengan bagaimana agar anak murid benar-benar berada di taman, bukan di sel penjara.

Menuntun, memahami kodrat, dan menghamba kepada anak murid adalah hal baik yang dapat memberikan kemerdekaan bagi anak murid untuk belajar.

Agar mencapai hal itu, seorang guru tentunya harus memiliki nilai dan peran yang ada dalam dirinya, sehingga mampu memberikan kemerdekaan belajar dimaksud.

Nilai dan peran tersebut mestinya bisa mendarah daging (flash and blood) dalam diri seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran.

Membahas pemikiran Ki Hadjar Dewantara, tentu kita tidak asing dengan istilah ‘Filosofi Pratap Triloka’ pendidikan yang dikonsepkan oleh beliau. Pemikiran-pemikiran beliau, sungguh mulia, bahkan tidak termakan zaman.

Ketiga Pratap Triloka yang dimaksud yakni pertama, Ing Ngarso Sung Tulodo, kedua, Ing Madya Mangun Karso, dan ketiga, Tut Wuri Handayani.

Ing Ngarso Sung Tulada

Ing Ngarso Sung Tulada merupakan filosofi atau pemikiran bahwa guru adalah seorang pemimpin yang senantiasa berada di depan untuk memberikan tauladan bagi anak murid.

Dalam konteks sebagai pengambil keputusan guru yang merupakan pemimpin pembelajaran senantiasa bertindak, berpikir, berperilaku sebagai panutan (role-model).

Sebagai role model Guru harus mampu menumbuhkan, mengembangkan dan menguatkan nilai-nilai kebajikan universal lewat cipta, rasa dan karsa.

Mengutip kata-kata bijak Bob Talbert “Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best” (Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik). Mengajarkan anak murid untuk menumbuhkan karakter atau nilai-nilai kebajikan saja tidak cukup.

Guru mestinya mampu mengajarkan anak murid lewat sikap atau perilaku dan mampu berbuat dengan kesadaran penuh (mindfulness) dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai kebajikan universal di depan anak muridnya. Ketika guru dengan kesadaran penuh dan konsisten menerapkan nilai-nilai kebajikan universal, tentu akan mampu memberikan rasa kenyamanan bagi guru untuk mengambil sebuah keputusan baik dalam situasi dilema etika maupun dalam situasi bujukan moral.

Ing Madya Mangun Karsa

Ing Madya Mangun Karsa artinya guru senantiasa berada bersama atau berada di tengah anak murid untuk membimbing, menuntun dan mengayomi anak murid dalam cipta, rasa dan karsa.

Guru harus memainkan peran ganda, bahkan multi peran ketika berada bersama anak muridnya. Guru harus mampu memediasi, memfasilitasi, dan menginspirasi terhadap apa yang menjadi kebutuhan belajar, minat dan gaya belajar mereka. Memberikan rasa kenyamanan bagi anak murid dan menempatkan anak murid sebagai subyek dalam proses pembelajaran tentunya akan memberikan kontribusi yang baik dalam mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.

Tut Wuri Handayani

Filosofi ketiga KHD adalah ‘Tut Wuri Handayani’. Tut wuri handayani memiliki makna bahwa guru berdiri di belakang anak murid untuk memberikan semangat atau dorongan kepada mereka agar mampu menjadi kepemimpinan murid. Guru memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada anak muridnya melakukan sesuatu dan melakukan karya-karya inovatif sesuai dengan arahan dan dorongan guru.

Nilai-Nilai Kebajikan Guru

Nilai-nilai kebajikan universal pada umumnya sudah tertanam dalam diri seorang guru, dimana nilai-nilai tersebut telah menjadi karakter atau prinsip hidupnya.

Nilai-nilai dimaksud tentu akan sangat menunjang seorang guru dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin dalam membangun niat dan kemauan belajar serta mendorong anak murid dalam tumbuh kembang serta mengenali jati diri mereka.

Nilai-nilai tersebut di satu sisi akan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran. Bagi penulis, semakin kaya nilai kebajikan dalam diri seorang guru, maka akan semakin bijak prinsip berpikir pengambilan keputusan yang akan diambil. Prinsip berpikir pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran yang dimaksud adalah menurut Rushworth M. Kidder dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu, pertama, berpikir berbasis hasil akhir, kedua, berpikir berbasis peraturan, dan ketiga, berpikir berbasis rasa peduli.

Ketiga prinsip berpikir tersebut, pada dasarnya telah melekat dalam diri seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran. Hal itu, tentu akan berpengaruh dalam menentukan model atau paradigma dilema pengambilan keputusan. Model atau paradigma itu antara lain; (a) Individu lawan masyarakat (Individual versus Community), (b) Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice versus mercy), (c) Kebenaran lawan kesetiaan (truth versus loyalty), dan (d) Jangka pendek lawan jangka Panjang (short term versus long term).

Dalam penyelesaian sebuah permasalahan yang terjadi, pemimpin pembelajaran dapat saja melakukan coaching, dimana guru membimbing dan mengenali potensi dalam diri anak murid untuk menyelesaikan masalah dengan potensi dalam dirinya.

Namun, dalam kasus atau permasalahan tertentu pengambilan keputusan dilakukan oleh guru.

Agar sebuah keputusan yang diambil tepat, maka perlu untuk melakukan sebuah langkah pengujian keputusan. Langkah-langkah dalam pengambilan dan pengujian keputusan tersebut terdiri atas 9 langkah yakni:

1. Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan dalam sebuah kasus atau situasi yang terjadi.

2. Menentukan siapa saja yang terlibat dalam situasi tersebut.

3. Mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi yang terjadi.

4. Melakukan pengujian benar atau salah dengan cara: a) uji legal, b) Uji regulasi/standar professional, c) uji intuisi, d) uji publikasi, dan e) uji panutan/idola

5. Pengujian paradigma benar lawan benar.

6. Melakukan prinsip resolusi melalui tiga prinsip; End-Based Thinking, Rule-Based Thinking dan Care- Based Thinking

7. Melakukan investigasi opsi trilema

8. Membuat sebuah keputusan

9. Melakukan refleksi terhadap keputusan yang telah diambil.

Kemampuan Sosial dan Emosional

Kemampuan sosial dan emosional seorang pemimpin pembelajaran menjadi salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan. Guru yang memiliki kemampuan tersebut ketika berpijak pada prinsip dan nilai-nilai kebajikan yang ada dalam dirinya, akan memberikan kontribusi yang baik dalam pengambilan dan pengujian sebuah keputusan.

Kecerdasan sosial dan emosional tersebut tentu akan menjadikan seorang guru lebih berwibawa dan bijak dalam pengambilan sebuah keputusan. Keputusan yang diambil adalah keputusan yang tepat. Ketepatan dalam pengambilan keputusan itu pada akhirnya akan berdampak positif terhadap anak murid, rekan sejawat, dan tentunya bagi lembaga pendidikan atau semua warga sekolah, sehingga terciptanya lingkungan sekolah yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Pengambilan Keputusan Kasus Dilema Etika SMA Negeri 1 Satarmese

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap guru pasti akan berhadapan dengan situasi dilema etika. Tidak terkecuali penulis yang kesehariannya mengabdikan diri sebagai guru pada lembaga pendidikan SMA Negeri 1 Satarmese. Berbagai kesulitan tentu penulis alami di sana.

Kesulitan tersebut menurut kaca mata penulis lebih banyak karena adanya perbedaan prinsip yang terbentuk oleh nilai-nilai kebajikan dalam diri individu guru.

Kesulitan tersebut, kadang pula disebabkan oleh kemampuan sosial dan emosional. Kemampuan sosial dan emosional yang berbeda dan juga paradigma dilema etika yang berbeda memberikan kontribusi kesulitan masing-masing dalam pengambilan sebuah keputusan.

Kesulitan-kesulitan tersebut tentu berdampak pada kemerdekaan belajar yang diharapkan. Kontribusi itu kadang berdampak jangka pendek, kadang pula berdampak jangka panjang.

Oleh karena itu, bagi penulis, pengembangan diri guru merupakan hal baik dalam meningkatkan kapasitas sebagai pemimpin pembelajaran, sehingga akan dapat mengambil sebuah keputusan yang teruji dan terukur. Keputusan yang teruji dan terukur hanya dapat diterapkan dengan baik manakala adanya kesamaan paradigma pengambilan keputusan yang tepat, sehingga akan memberikan kemerdekaan belajar bagi anak murid yang pada akhirnya akan terwujud profil pelajar Pancasila. (***)

Bagikan