Pemprov NTT Diminta Batalkan Kenaikan Tarif Masuk TNK

KUPANG, NTT PEMBARUAN.id- Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) diminta batalkan kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) sebesar Rp 3.750.000/orang yang direncanakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2022 mendatang, dan kembali ke tarif semula.

Kalau tetap dipaksakan maka mereka (pemerintah,red) akan berhadapan langsung dengan masyarakat nanti, kata Yohanes Rumat, Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur kepada media ini di Kupang, Kamis (21/7/2022).

Yohanes melihat, aksi protes penolakan dari sejumlah elemen masyarakat terkait kenaikan tarif masuk ke TNK itu, sebagai  akibat dari wacana yang tanpa konsep dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Wacana kenaikan tarif itu, menurut dia, tanpa melalui pembahasan bersama dengan DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan para pelaku usaha yang bergerak di bidang pariwisata.

Kalau saja dulu, pemerintah bicara baik-baik duduk bersama DPRD NTT dan para pelaku usaha di bidang pariwisata, lalu hasilnya disosialisasikan ke publik, menurut Yohanes,  pasti tidak menuai protes dari masyarakat.

“Tapi, ini  tiba-tiba seperti sambaran petir saja, maka wajarlah kalau masyarakat itu reaksi, dan   kalau Pemprov NTT tetap  paksa memberlakukan kenaikan tarif baru itu tanggal 1 Agustus 2022,  maka akan berhadapan langsung dengan masyarakat. Jadinya, rugi dobel, tamu/wisatawan tidak datang, restaurant dan hotel-hotel juga merasakan dampaknya,” kata Yohanes.

Karena itu, jika salah satu dari pointnya menyinggung soal Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka ia sarankan kepada Pemerintah NTT duduk bersama DPRD NTT dan para pelaku usaha pariwisata, untuk menghasilkan payung hukum yang jelas, apakah dalam bentuk peraturan daerah (Perda) atau peraturan gubernur (Pergub), dengan besaran tarifnya pun tidak sesuka-sukanya pemerintah atau pihak ketiga yang dipercayakan.

Wacana tarif masuk ke TNK sebesar Rp 3.750.000 itu, menurut dia,  hanya bersifat sepihak dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur tanpa melalui pembahasan bersama DPRD NTT.

“ Kalau sifatnya secara abstrak, tanpa ada dasar yang kuat, saya kira itu lahir dari mimpi, lahir dari angan-angan, dan lahir dari cita-cita. Sebab,  urus negara tidak bisa seperti itu. Urus negara harus ada dasar hukumnya, dan di situlah wibawa pemerintah muncul,” cetusnya.

Jika alasannya Pemprov NTT mendapat mandat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dimana sebagian urusan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten, Yohanes minta, tunjukkan buktinya.

“Tetapi, pada saat rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPRD NTT bukti surat itu, kami tidak dapat. Tidak pernah menunjukkan surat dari KLHK bahwa sebagian urusan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi NTT atau Pemerintah Kabupaten. Dokumen itu, kami belum dapat. Isu di media, di luar, dan bahasa abstrak selalu mengemukakan kita (pemerintah,red) mendapat kewenangan dari Pusat. Betapa dosanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kalau betul itu ada. Karena dia yang membuat semua situasi ini menjadi kacau,” tandas  Anggota Komisi II DPRD NTT itu.

“Lalu, ada lagi istilah lain menurut mereka (pemerintah,red) ada kajian akademis perguruan tinggi ternama, ya paparkan. Jangan hanya sebut UGM, IPB, dan UI, tapi paparkan hasilnya, sehingga kita di DPRD juga paham. Kita paham, kita sendiri orang lokal peduli dengan konservasi, kebersihan dan segala macam, tapi mulai dulu dengan infrastrktur yang mapan dululah, jangan tiba-tiba naik ambil enaknya di atas saja,”kata Rumat.

Katakanlah, selama ini omong tentang pencuri, contoh dia, bagaimana cara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatasi masalah itu , seperti pencuri rusa, babi hutan dan ikan di bawah laut.

“Begitu juga soal bicara kebersihan, kita buat dulu, jangan tiba-tiba dengan angka Rp 3.750.000 itu semua persoalan beres. Demikian juga, berbicara  konservasi, itu tugasnya negara untuk menganggarkannya. Jangan membebani para wisatawan atau membebani masyarakat dan mengorbankan orang-orang kecil yang tidak berdosa,” paparnya.

Menurut Yohanes,  kalau sudah ada penolakan dari masyarakat, maka niat untuk pemberlakukan tarif baru pada tanggal 1 Agustus 2022 itu direm dulu, dan memberitahu  ke KLHK, karena situasi lapangan, untuk sementara belum bisa diterapkan.

Ada dua rekomendasi yang ditawarkannya, pertama untuk Pulau Komodo dan Pulau Rinca  lebih baik dilakukan tutup permanen dengan target waktu yang ditentukan untuk melakukan pembenahan di dalamnya,  sehingga antara nilai konservasi dengan jumlah kunjungan bisa rasional.

Misalnya, konservasi untuk pengembangbiakan komodo, dan penataan lokasi untuk kembali ke alamnya, sehingga dalam waktu 5 – 10 tahun ke depan, banyak orang yang berkunjung ke sana.

Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat melakukan pembenahan dulu, dan kalau sudah ada daya tarik pasti lebih banyak lagi wisatawan berkunjung ke sana, kata Ketua DPC Kabupaten Manggarai Timur itu.

Sedangkan rekomendasi kedua,  ia tawarkan agar wacana pemberlakuan tarif baru sebesar Rp 3.750.000 per  1 Agustus 2022 itu dibatalkan, dan kembali ke tarif semula. (red)

Bagikan