Oleh: Eddy Ngganggus
JUDUL tulisan di atas, saya sadur kata-kata George Bernard Shaw, “Beware of false knoweldge it is more dangerous than igonorannce“
Ketika saya masih kecil di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai ,saya sering di takut-takuti oleh orang-orang agar jangan lewat di seputaran pohon beringin di lapangan Motang Rua pada malam hari , karena di situ banyak kurcaci (kuntil anak) yang berkeliaran di sana yang biasa hisap darah siapa saja yang lewat .
Saya tidak percaya, karena ia yang menakut-nakuti saya tidak bisa membuktikannya. Namun karena yang menakut-nakuti saya , ia adalah kakak kelas saya di SD yang dalam banyak hal ia sangat dominan menguasi kami adik-adik kelasnya, sehingga ia bisa marah dan sangat tersinggung bila tidak percaya pada ucapannya.
Namanya juga saya orang keras kepala tetap saja saya tidak percaya sebelum ia bisa membuktikan kepada saya seperti apa kurcaci itu.
Namun , ia tetap ngotot harus percaya kepada dia. Meskipun saya sudah berulang-ulang kali lewat di bawah rindangan pohon beringin tengah malam , tak satu kalipun saya bertemu dengan kurcaci yang dia maksudkan. Dasar kakak kelas sombong, ia tetap ngotot mengatakan , ada kurcaci di sana.
Saya terus di intimidasi hingga ia tamat sekolah dan berpisah dengan kami adik-adik kelasnya.
Kisahnya sampai di situ. Teringat saya kisah ini sangat cocok dengan tabiat orang yang memaksakan orang lain agar percaya pada apa yang ia yakini agar orang lainpun turut meyakini hal yang ia percayai. Mestinya, ia bisa membuktikan apa yang diyakininya itu agar kita bisa turut percaya serupa yang ia percayai.
Bukan justru memaksakan orang lain untuk membuktikan apa yang diyakininya itu.
Kewajiban membuktikan harusnya ada pada dia yang membuat statement, bukan pada kita yang tidak percaya pada statementnya.
Seperti itulah hidup beragama, yang membuat statement Tuhan itu ada harus bisa membuktikan bahwa Tuhan itu betul ada. Adanya Tuhan diwujudkan dalam perilakunya yang menyerupai Tuhan (karena Tuhan secara fisik tentu tidak bisa di jumpai secara kasat mata).
Perilaku menyerupai Tuhan itu selalu dimanifestasikan dalam sikap membawa kedamaian, kesejukan, ketenteram, kasih dan ragam hal baik lainnya . Jika perilaku itu ada dalam tindakan hariannya maka yang membuat statement berhasil membuktikan bahwa Tuhannya itu ada, dengan kata lain ia menampakan dan menghadirkan Tuhan lewat perilaku, tutur kata, sikap yang baik dan benar.
Kalau tidak begitu, maka orang bisa membuat statement apa saja dan memberikan beban kepada yang tidak percaya untuk membuktikannya.
Ini akan mendatangkan keruwetan. Orang bisa membuat statement-statement yang tidak bertanggung jawab dan meminta yang tidak percaya untuk bersusah payah membuktikannya. Yang wajib membuktikan ialah dia yang percaya bahwa sesuatu itu ada, bukannya memaksakan dia yang belum percaya untuk membuktikan.
Kacau balau kalau begitu dan dunia akan mengalami kemunduran. Karena agamawan-agamawan bisa mengatakan apa saja dan yang tidak percaya yang harus membuktikan dia salah.
Konyol, orang bisa seenaknya menuduh: “Kamu seorang kafir karena itu layak di hukum . Kalau kamu merasa bukan kafir, maka kamu harus buktikan bahwa kamu bukan Kafir!”
Kan ruwet kalau begini ?
Atau dalam masalah hukum misalnya, karyawan di kantor yang di PHK oleh atasannya dengan tuduhan telah berbuat salah, padahal bukti salah yang di buatnya belum nyata ada, juga belum ada kejelasan aturan apa yang di langgarnya. Ini memaksakan pegawai yang terhukum sendiri yang membuktikan bahwa ia bersalah, yah tidak mungkin lah, ia akan berusaha membuktikan bahwa ia tidak bersalah .
Ada logical fallacy atau sesat berpikir , yakni kesalahan penalaran yang membuat argument tidak valid. Argument yang di lontarkan tidak terbukti kebenarannya dan berpotensi menipu orang lain. Sesat berpikir ini bisa diidentifikasikan melalui karateristik berikut : terdapat kesalahan dalam logika berpikir, lalu biasanya di terapkan dalam argumen, dan ada indikasi kesan menipu kepada orang lain.
Karena itu membangun sikap kritis agar bisa mendorong etika dan regulasi meminggirkan kelemahan berpikir menjadi lebih parah menguasai diri.
Sebab lemahnya dorongan etika (Ethical driven), dan dorongan aturan (regulatory driven) menyumbang sesat berpikir akan semakin permanen. (***)