Jika Kerugian MTN Bank NTT Dikategori Risiko Bisnis

Oleh : Eddy Ngganggus

RISIKO bisnis yang dikaitkan dengan pembelian Surat Berharga Jangka Menengah atau Medium Term Note (MTN) oleh Bank NTT pada PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) mengacu pada BJR (Bussines Judgment Rule) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Sehingga bila kerugian akibat investasi MTN Bank NTT pada PT SNP ini disimpulkan sebagai risiko bisnis maka, analisis hukumnya akan  seperti ini  ;

1. Direksi akan di bebaskan dari tuntutan hukum akibat kerugian bisnis yang timbul dari pembelian MTN pada PT SNP ini .

Dasarnya adalah pasal 97 UU no. 40 tahun 1997. Isi lengkap dari pasal ini sebagai berikut :

Pasal 97

(1) ) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).

(2) ) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

(3) ) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) ) Dalam hal Direksi terdiri   atas   2   (dua)   anggota   Direksi   atau   lebih,   tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

(5) ) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Mari kita simak dan analisis pada Pasal 97 ayat 5 point a UU no 40 tahun 1997 menyebutkan Anggota Direksi tidak dapat di mintai pertanggungjawabanya atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

Secara eksplisit dalam hasil audit BPK dalam auditnya bernomor  No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 14 Januari 2020  telah merekomendasikan ;

a.1.Dewan  Komisaris  dalam  RUPS  agar  meminta  Jajaran  Direksi  PT  Bank  NTT melakukan langkah-langkah recovery atas MTN PT SNP senilai Rp 50.000.000.000,00, antara lain melakukan koordinasi dengan kurator dan melaporkan perkembangan tersebut kepada BPK RI; dan

a.2.Direktur Utama agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Dealer, Kepala Sub Divisi Domestik dan International serta Kepala Divisi Treasury yang melakukan pembelian MTN tanpa proses due diligence.

Inplisit dua rekomendasi tersebut di atas berarti telah terjadi kelalaian yang di lakukan oleh “bukan Direksi” . Pertanyaannya, jika di lakukan oleh “bukan Direksi” , lantas siapa yang melakukannya ? Jawabannya sudah ada di benak pembaca sekalian. Entahkah itu kelalian ada pada Direksi atau bukan Direksi yang pasti sedari awal atau pra pembelian MTN ini sudah ada pelanggaran atau kelalaian yang tidak hati-hatin atau tidak prudent yang menyebabkan BPK mengeluarkan dua rekomendasi tersebut di atas.

Menyatakan pembelian MTN sebagai suatu risiko bisnis dengan hanya melihat di hilir masalah atau pasca pembelian MTN lantaran banyak bank juga menjadi korban dari ulah PT SNP adalah tindakan tidak fairr. Mengapa ? Proses investasi bernilai puluhan miliar adalah proses yang hight risk (berseiko tinggi). Karena itu OJK dalam POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ) no. 46/POJK.03/2007 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum dalam konsideran point C menyatakan bahwa untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank diperlukan berbagai upaya baik yang bersifat preventif (ex-ante) maupun kuratif (ex-post). Menjadi syarat untuk memitigasi risiko dalam memberikan pinjaman (atau yang setara dengan itu) bank wajib memperhatikan 3 hal berikut :

Sebelum memberikan pinjaman bank memperhatikan first way out yakni memastikan obyek usaha yang akan di biayai adalah usaha yang menguntungkan atau profitable, memiliki kemampuan membayar atau Repayment Capacity yang surplus. Untuk menjamin ini maka analis akan sangat ketat membaca dan menganalisa neraca / dan laba rugi dari perusahaan yang akan di biayai. Mengingat PT SNP adalah perusahaan go public dengan omset usaha yang besar sehingga performance perusahaan mitra ini di peringkat / di rating oleh lembaga pemeringkat surat berharga bernama PEFINDO , karena itu bank tentu akan melakukan analisa neraca dan laba rugi perusahaan yang “sudah di audit” oleh akuntan publik lalu menilai hasil pemeringkatan lembaga tersebut oleh PEFINDO. Selain itu informasi penting lainnya akan direferensikan oleh bank dari arranger, atau yang mengatur lalu lintas transaksi antara Bank NTT sebagai  kreditur  dan PT SNP sebagai penjual surat berharga .

Tidak berhenti di situ saja, karena bisnis yang di biayai bank bersifat susah di prediksi atau unpredictable maka untuk memitigasi risiko bila debiutur atau investornya gagal bayar atau wanprestasi maka, bank akan mensyaratkan debitur atau investor menyerahkan agunan tambahan. Agunan tambahan ini lasim di sebut second way out .

Second way out untuk mengcover risiko kredit tentu berbeda dengan second way out untuk memitigasi pembelian surat berharga.

Kemudian untuk menjamin kepentingan kreditur dan debitur dalam mengcover risiko gagal bayar maka, selalu ada kesepakatan menjaminkan pinjaman pada lembaga penjamin kredit.

Hal ini lazim di sebut dengan third way out . Ketiga way out tersebut adalah implementasi atau manifestasi dari kebijakan regulator mengingat bisnis bank besifat hight risk (bersiko tinggi).

Karena itulah bank dikenal sebagai salah satu institusi yang hight regulated atau sangat diatur oleh ragam ketentuan oleh ragam regulator.

Mengingat peran strategis bank yang bisa berimplikasi sistemik bila terjadi pengelolaan yang keliru.

Catatan khusus untuk pembelian MTN tidak disyaratkan adanya penjaminan pada lembaga penjamin.

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian.

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

2. Dari UU no 40 tahun 2007  tersebut di atas tampak bahwa Direksi memilki imunitas terhadap keputusan bisnis yang di ambilnya meskipun keputusan itu berakibat kerugian buat bank, hal itu di anggap sebagai risiko bisnis . Hak imunitas itu tidak mutlak karena ada pengecualian, jika Direksi tidak memenuhi kaidah pasal 97 , point 5a UU no 40 tahun 2007 seperti di uraikan di atas.

3. Kerugian pembelian MTN oleh bank NTT adalah kerugian yang tidak terkait dengan imunitas Direksi, karena Direksi tidak terlibat dalam transaksi tersebut .

Dengan tidak terlibatnya Direksi dalam transaksi ini maka tanggung jawab itu akan turun kepada hirarki di bawah Direksi dalam hal ini Divisi Treasury. Karena itu kerugian akibat pembelian MTN adalah sebuah risiko bisnis yang terlepas dari hak imunitas Direksi namun melekat pada tanggung jawab Divisi . Sekali lagi  Pembelian MTN pada PT SNP oleh bank NTT tetap sebuah risiko , hanya saja risiko itu terlepas dari Direksi ,Mengapa ? karena  selain karena Bank NTT tidak mendapat sepeserpun pengembalian dari PT SNP juga lantaran sebelum timbulnya kewajiban dari pihak PT SNP sesungguhnya bank sudah terpapar risiko karena bank sendiri telah membuka pintu risiko melalui aksinya yang melakukan:

1) Investasi pembelian MTN tersebut tanpa didahului analisa kelayakan, atau due diligence atau uji tuntas.

2) Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN.

3) Pembelian MTN tidak masuk dalam rencana bisnis PT Bank NTT tahun 2018.

4) Selain itu PT Bank NTT tidak melakukan On The Spot untuk   mengetahui   alamat   kantor   dan   mengenal   lebih   jauh   atas pengurus/manajemen PT SNP.

Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT SNP baru terjadi setelah PT SNP mengalami permasalahan gagal bayar.

5) Pembelian MTN tidak melalui telaah terhadap laporan keuangan audited PT SNP Tahun 2017 namun hanya berpatokan peringkatan yang dilakukan oleh Pefindo tanpa mempertimbangkan catatan pada pers release Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan belum berdasarkan Laporan Keuangan audited PT SNP Tahun 2017, sehingga mitigasi atas risiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik.

6) PT Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak melakukan pembelian MTN.

7) Tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT SNP pada SLIK OJK (SLIK= Sistim Layanan Informasi Keuangan atau checking pinjaman pada bank lain).  (***)

Bagikan