Categories Humaniora Opini

Penerapan Teknik Coaching Dalam Pembelajaran yang Berpihak Pada Murid

Oleh: Gregorius Ganggur-CGP Angkatan 3, Kabupaten Manggarai

KEBERPIHAKAN pada murid merupakan salah satu wujud merdeka belajar. Keberpihakan pada murid tidak diterjemahkan sebagai berpihak pada semua aktivitas, sikap dan tutur murid.

Keberpihakan dimaksud adalah keberpihakan pada minat dan kebutuhan belajar murid, gaya belajar dan kodrat alam serta kodrat zaman murid.

Guru dalam hal ini harus mengetahui bahwa hakekat seorang manusia terlahir bukan seperti selembar kertas kosong.

Sebagai manusia, murid tentunya hadir di kelas dengan latar belakang, kemampuan dan potensinya masing-masing.

Guru hadir di tengah murid untuk membentuk latar belakang murid menjadi sebuah fondasi dalam mengembangkan kemampuan dan potensi anak murid agar makin nampak dan kuat.

Untuk mencapai hal tersebut nilai dan peran seorang guru menjadi sangat vital dalam mewujudkan kemerdekaan belajar. Guru tidak hanya hadir di tengah anak murid untuk menyajikan materi sebagaimana tertuang dalam kurikulum.

Guru hadir tidak hanya mengajar tetapi lebih daripada itu guru hadir untuk mendidik.

Guru hadir untuk bisa memfasilitasi semua kebutuhan belajar demi pengembangan kemampuan dan potensi anak murid.

Salah satu fungsi dan peran guru dalam mengembangkan dan meningkatkan potensi diri anak murid adalah melakukan teknik coaching.

Guru harus mampu memainkan multi peran. Guru tidak bisa melepaskan atau membiarkan anak murid yang bermasalah terlarut dalam permasalahan yang dihadapi atau bahkan melempar tanggung jawab kepada seorang konselor untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami anak murid.

Guru yang berpihak pada murid adalah guru yang mampu memainkan peran sebagai konselor dengan melakukan teknik sederhana yaitu coaching. Lantas apa itu coaching?
Coaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003)

Coaching merupakan sebuah teknik penyelesaian masalah dimana seorang coach mendorong orang yang dilatih untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan menggunakan kemampuan, potensi dan sumber daya yang ada dalam dirinya.

Dalam konteks pendidikan maka coach adalah sebuah teknik yang dillakukan oleh seorang guru dalam menyelesaikan persoalan yang dialami anak murid, dimana murid (coachee) mampu menyelesaikan masalah dengan mengandalkan kemampuan, bakat dan sumber dayanya sebagai murid.

Guru melakukan teknik ini dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun menuju keputusan dan tanggung jawab yang diambil oleh murid sebagai coachee.

Untuk bisa membuat rangkaian pertanyaan penuntun dalam penyelesaian masalah atau persoalan murid, guru sebagai coach tentunya harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik.

Komunikasi yang baik akan menjadi tolok ukur pencapaian pesan dari komunikator kepada komunikan.Menurut Habermas, komunikasi merupakan hubungan yang simetris atau timbal balik. Komunikasi selalu terjadi di antara pihak yang sama kedudukannya. Komunikasi justru bukan hubungan kekuasaan, melainkan hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling mengakui kebebasannya dan saling percaya.

Dalam penerapan teknik coaching, seorang guru tidak menempatkan dirinya sebagai seorang yang memiliki kekuasaan untuk dapat memberikan sebuah keputusan terhadap masalah yang dihadapi anak murid. Guru dalam teknik coaching harus mampu menempatkan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya oleh murid dan menjunjung tinggi asas kebebasan murid dalam menyampaikan persoalan yang dihadapinya.

Mengakui kebebasan dan saling percaya akan terwujud manakala seorang guru memiliki gaya komunikasi yang humanis. Gaya komunikasi yang dimaksud adalah bukan gaya komunikasi agresif, bukan pula gaya komunikasi submisif melainkan kombinasi dari gaya komunikasi agresif dan submisif yakni gaya bahasa asertif.

Gaya komunikasi asertif adalah gaya komunikasi dimana guru mampu menjadi pendengar yang baik, memberikan perhatian penuh pada setiap kata yang terucap dari cochee (anak murid) dengan cara menjaga kontak mata dalam membangun komunikasi, menunjukan rasa empati terhadap apa yang dialami anak murid dan mampu menemukan potensi dan kemampuan yang ada dalam diri anak murid untuk nanti dijadikan rujukan dalam penyelesaian persoalan atau masalah yang dihadapinya.

Dengan bekal kemampuan komunikasi yang baik, seorang guru tentu tidak boleh melupakan perannya sebagai orang yang diguguh dan ditiru.

Guru yang demikian pada dasarnya harus memahami dan mampu menerapkan hakekat dirinya sesuai dengan semangat filosofi pendidikan yang memerdekakan murid. Filosofi tersebut, adalah filosofi guru sebagai Ing Ngarso Sung Tulada, In Madya Mangun Karsa, dan Tutu Wuri Handayani. Sebagai seorang guru yang memiliki semangat Tut Wuri Handayani, menghayati dan memaknai mindset Ki Hajar Dewantara dalam menerapkan teknik coaching untuk penyelesaian persoalan anak murid adalah sebuah keniscayaan.

Dengan memahami pemikiran Ki Hajar Dewantara tersebut, guru dalam proses coaching secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan. Guru dalam penerapan coaching harus mampu menempatkan; (1) murid sebagai mitra belajar. Guru sejatinya memiliki sebuah cara berpikir bahwa dalam proses coaching keduanya memiliki kesepahaman yang sama tentang belajar.

Ketika mendengarkan murid, guru belajar mengenali kekuatan dirinya juga mengenali muridnya secara mendalam. Demikian pula sebaliknya, tuntunan yang diberikan guru memberikan ruang bagi siswa untuk menemukan kekuatan dirinya sebagai murid dan sebagai manusia, (2) emansipatif.

Proses coaching membuka ruang emansipatif bagi guru dan siswa untuk merefleksikan kebebasan mereka melalui kesepakatan dan pengakuan bersama terhadap norma-norma yang mengikat mereka. ruang emansipatif memberi peluang bagi murid untuk menemukan kekuatan kodratnya, potensi dirinya, dan kekuatan yang dimilikinya, (3) Kasih dan persaudaraan. Proses coaching sebagai sebuah latihan menguatkan semangat Tut Wuri Handayani yaitu mengikuti/mendampingi/mendorong kekuatan kodrat murid secara holistik berdasarkan cinta kasih dan persaudaraan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa.

Murid adalah seorang manusia yang memiliki kebebasan untuk mendapatkan cinta kasih, dan (4) Ruang perjumpaan pribadi. Proses coaching merupakan sebuah ruang perjumpaan pribadi antara guru dan murid sehingga keduanya membangun rasa percaya dalam kebebasan masing-masing.

Kebebasan tercipta melalui pertanyaan- pertanyaan reflektif untuk menguatkan kekuatan kodrat murid.

Guru yang memahami hakekat ini tentu akan mudah menerapkan coaching dalam proses pembelajaran dan atau penyelesaian sebuah masalah yang dihadapi anak murid.
Selain itu model penerapan coaching di lingkungan sekolah juga menjadi salah satu faktor keberhasilan tercapainya teknik coaching.

Salah satu model yang sangat direkomendasikan dalam penerapan teknik coaching di sekolah adalah model TIRTA. TIRTA yang dalam bahasa jawa diartikan air memiliki kepanjangan Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, dan Tanggung jawab. Filosofi TIRTA adalah biarkan guru hadir untuk mengidentifikasi letak tersumbatnya air dan membuka sumbatan tersebut sehingga air dapat mengalir dengan baik.

Demikian halnya dalam penyelesaian persoalan anak murid, guru hadir untuk membuka sumbatan masalah anak murid dan membiarkan anak murid bertanggung jawab untuk sebuah keputusan penyelesaian masalah dengan kemampuan dan potensi yang ada dalam dirinya.(*)

Berita lainnya