Categories Daerah Humaniora

20.000 Anakan Kelor Siap Ditanam di Sulamu dan Oeteta

KUPANG, NTT PEMBARUAN.id- Sebanyak 20.000 anakan kelor yang saat ini disemayam di polybag di halaman Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) siap ditanam di lahan 6 hektar di Sulamu dan Oeteta, Kabupaten Kupang bulan Oktober 2018 mendatang.

Gerakan ini sebagai bentuk implementasi program revolusi hijau untuk kelorisasi yang dilakukan Gubernur NTT saat ini, kata Kepala Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),  Ir. Yohanes Tay Ruba, MM kepada wartawan media ini di Kupang, Rabu (26/9/2019).

Menurut rencana, penanaman perdana  tanaman kelor itu akan dilaunching Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat sekaligus melepaskan 100 orang masyarakat tani  untuk mengikuti pelatihan selama 5 hari di Flora, Jawa Tengah.

Mengapa harus di Sulamu dan Oeteta?  Karena lahan itu, menurut dia,  sudah diidentifikasi  oleh lembaga sertifikasi marungga organik.  “Kita dorong 6 hektar lahan denplop yang ada di Sulamu dan Oeteta akan ditanam tahun ini,” kata Tay Ruba.

Marungga atau pohon kelor, lanjutnya lagi, akan memperkuat pangan lokal yang ada di NTT sekarang ini.  Sementara kualitas marungga dari hasil penelitian World Health Organization (WHO), kata Yohanes, marungga  memiliki kandungan gizi  yang sangat tinggi dari pangan lainnya atau 1 mangkok marunggu sama dengan 17 gelas susu.  “Ini sangat penting untuk perbaikan gizi  masyarakat  NTT sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan membuka lapangan kerja,” urainya.

Kelebihan tanaman marungga ini, tambah dia,  bisa tumbuh di lahan yang marginal dan tanah kering sekaligus mendukung lingkungan hidup karena  tanaman ini tetap tumbuh hijau walaupun pada musim kemarau.  Langkah awal yang dilakukannya sekarang  melakukan komunikasi dengan rekan-rekan di Dinas Pertanian  Kabupaten/Kota di NTT untuk mulai mensosialisasikan tanaman kelor kepada masyarakat.

“Kita juga meminta  masyarakat petani di NTT untuk mengumpulkan benih marungga ke Dinas Pertanian setempat  untuk  kemudian dibagikan kembali ke masyarakat  petani  lainnya yang belum menanam.  Pertama kita sosialisasikan  kepada kabupaten/kota untuk mengumpulkan benih kemudian mendorong petani untuk menanam marungga. Kami di dinas, mulai membuat persemayam dalam bentuk poli bag untuk dilaunching oleh Gubernur NTT nanti saat dilakukan penanaman perdana di Sulamu dan Oeteta, Kabupaten Kupang Oktober 2018 mendatang,” kata Tay Ruba.

Sekarang, pihaknya sedang  membahas  anggaran bersama DPRD NTT untuk membuat grand desain petani lahan kering untuk masuk dalam anggaran perubahan tahun ini. Grand desain petani lahan kering yang dibuat  itu  nanti akan disusun bersama pakar pertanian dengan DPPT. Selama ini, yang gencar mensosialisasikan tanaman marungga hanya  dari WFI, tetapi itu pun belum masuk semua kabupaten/kota di NTT, sehingga gaungnya kurang menggema.

Sebarkan Benih

Yohanes Tay Ruba
Yohanes Tay Ruba

Dari Dinas Pertanian NTT juga akan menyebarkan benih marungga di 10 kabupaten di NTT tahun ini,  yakni Flores Timur (Flotim), Lembata, Alor, Malaka, Belu, Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Kupang, Sumba Timur,  dan Sumba Barat Daya (SBD).

“Awalnya, kita bantu benih dulu untuk ditanam di lahan masyarakat.  Supaya pengawasannya lebih gampang, maka sistemnya dalam  bentuk kelompok tani.  Karena itu, para petani mendaftarkan lahan-lahan milik mereka untuk nantinya ditanam anakan kelor ini,” imbuhnya.

Strategi lain yang dilakukannya, mendorong  para petani  untuk melakukan tanaman lorong atau alegroping.  Dimana, cukup ditanam di teras atau di pematang –pematang

di lahan marginal, sehingga di tengah-tengahnya masih bisa ditanam jagung atau pangan lokal lainnya.

“Selama ini kita juga sudah menjalankan dengan memperkuat pangan lokal, seperti jagung, kedelai, bawang, cabe, dan buah-buahan lainnya. Sekarang, kita isi lagi dengan tanaman kelor untuk ditanam di lahan –lahan marginal untuk memperkuat pangan lokal,” sebut Tay Ruba.

Strategi kelor ke depan, menurut dia,  membuat dua pola, yakni pola intensif, dan pola plasma yang bersifat partisipatif dari masyarakat. Pola intensif atau pola inti, dikembangkan di lahan yang itensif dengan standar yang ketat.  “Karena itu, kita harus melakukan identifikasi lahan dulu, sehingga hasilnya bisa dijual. Sedangkan pola plasma, untuk memenuhi gizi masyarakat lokal, sehingga setiap waktu bisa mengkonsumsi marungga.Kita mendorong untuk mengkonsumsi marungga setiap hari,” tandasnya.

Ia berharap, suatu saat NTT akan menjadi daerah produsen marungga di Indonesia  khususnya dan dunia pada umumnya. Saat ini, ujar dia,  sudah  ada permintaan dari negara Eropa dan Afrika untuk mensuplai pangan yang berorganik daun kelor yang sudah dikeringkan dan yang sudah menjadi bubuk,  bukan daun kelor mentah. (ade)

Bagikan:

Penulis

Selalu update berita terbaru kami di Google News dan Telegram.

Berita Lainnya