Waerebo Menjadi Catatan Penutup Panen Hasil Belajar Lokakarya 7 Guru Penggerak Kabupaten Manggarai

Oleh: Gregorius Ganggur

EMPAT belas Mei Tahun 2022 merupakan puncak pameran hasil belajar para Guru Calon Penggerak Angkatan 3, Kabupaten Manggarai. Dibuka secara resmi oleh Bupati Manggarai, Heribertus Gerardus Laju Nabit, MA.

Kegiatan pameran produk hasil kreativitas anak murid sebagai dampak pembelajaran dalam Program Pendidikan Guru Penggerak dari 72 Calon Guru Penggerak Kabupaten Manggarai berakhir dengan tepuk salut dari orang nomor satu di Kabupaten Manggarai tersebut. Tidak hanya Bupati, Fasilitator yang telah mendampingi Calon Guru Penggerak juga memberikan apresiasi atas karya-karya yang ditampilkan dalam 11 stan pameran yang diselenggarakan di rumah ret-ret Susteran Carmel di Wae Lengkas, Ruteng.

Ketiga fasilitator yang turut hadir dalam Lokakarya Panen Hasil Belajar tersebut tak henti-hentinya memberikan pujian kepada Calon Guru Penggerak yang telah melakukan aksi nyata dalam mewujudkan kemerdekaan belajar demi tercapainya Profil Pelajar Pancasila.

Walau tidak difasilitasi dan tidak dilibatkan dalam kegiatan tersebut, dengan inisiatif dan merogoh kantong sendiri tiga orang fasilitator hebat tersebut hadir di tengah-tengah para Calon Guru Penggerak Kabupaten Manggarai. Mereka memuji upaya dan usaha nyata atas karya dan inovasi para Calon Guru Penggerak.

Sebagai penutup dalam kegiatan lokakarya tersebut, fasilitator ibu Niky, ibu Aisyah dan ibu Ara mengunjungi objek Wisata yang menjadi juara dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021, Waerebo.

Bersama rekan Calon Guru Penggerak, ketiganya memulai perjalanan dari Ruteng sebelum Azan subuh menyeruak.

Didampingi dan dipandu CGP hebat, abang Rocky bersama istri ketiga berangkat menuju Waerebo penuh semangat.

Niat menaklukan ‘Poco Roko’ telah mengalahkan dinginnya udara Kota Ruteng.

Bagi mereka yang keseharian sibuk dengan rutinitas dan hiruk pikuk kehidupan kota besar, menjelajahi dan menikmati setiap spot dan pemandangan alam Manggarai merupakan anugerah tak terhingga.

Bentuk mensyukuri anugerah tersebut, mereka wujudkan melalui pengabadian di setiap spot yang dilalui menuju tempat wisata yang telah menjadi ikon pariwisata Kabupaten Manggarai itu. Mengabadikan momen di setiap titik yang menarik, membuat abang Rocky, harus selalu siaga menginjak rem dan menghentikan perputaran roda di sepanjang hutan lindung Golo Lusang.

Penulis, yang berdomisili di seputaran pantai selatan, terpaksa merelakan untuk menunggu kedatangan rombongan di tengah areal persawahan Hilihintir sebelum mentari menyapa bumi selatan Manggarai.

Tidak ada aktivitas lain selain menikmati hamparan lahan persawahan dan gemerincik air di saluran got.

Sesekali mencoba menghubungi rombongan yang belum juga tampak biasan cahaya lampu mobil dan motor rombongan di penghujung jalan. Bahkan mentari yang mulai bangun dari peraduannya telah tampak menyapa tetesan embun di bulir padi yang mulai menguning.

Rombongan baru tiba, saat penulis berpindah tempat menikmati pemandangan pelaut mendayung perahu mendekati Pantai Nanga Ramut.

Deruhan mobil Rush abang Rocky yang berlomba dengan bunyi ketinting nelayan baru tiba saat jarum jam dan menit menunjuk pada angka tujuh.

Sejenak, berbincang, perjalanan pun dilanjutkan menuju sungai yang mengalir dari atas pegunungan ‘Poco Roko’ sebagai titik awal trecking ke kampung di atas 1000 mdpl itu.

Wae Lomba, demikian sebutan masyarakat sekitar menjadi titik akhir laju perputaran roda kendaraan rombongan. Bu Niky memimpin rombongan memulai menapakan kaki di setapak berbatu yang baru saja selesai dikerjakan.

Dengan tongkat di tangan fasilitator Guru Penggerak dari P4TK penjaskes/BK itu, memulai trecking penuh semangat.

Niat untuk bisa berdiri di tengah perkampungan yang dijuluki negeri di atas awan itu, rupanya telah lama dirindukannya.

Penulis yang sempat mampir di salah satu tokoh masyarakat Waerebo, harus memotong setapak untuk bisa mengejar rombongan di bawah pimpinan ibu Niky.

Pos satu, rupanya menahan langkah kaki mereka. Tampak ibu Aisyah dan ibu Ara, berada pada ujung belakang formasi rombongan.

Medan yang cukup menguras energi itu, rupanya kurang bersahabat dengan mereka berdua.

Tiga jam lamanya rombongan harus bergulat untuk menaklukan Poco Roko hingga memasuki areal perkampungan dengan tujuh Niang.

Pukul 12 seper empat rombongan memasuki mbaru Niang utama. Setelah disuguhkan kopi panas asli Waerebo, rombongan fasilitator dan CGP menikmati santap siang bersama. Sungguh momen yang langka.

Sungguh suasana yang indah dan susah untuk ditemukan kembali. Fasiliator hebat yang selama ini bertemu di dunia maya lewat pembelajaran virtual, yang selalu menata kata syarat ilmiah, kini duduk bersama rekan CGP.

Duduk bersila di bawah atap Niang Waerebo, sambil menikmati hidangan makan siang yang telah disiapkan penduduk di sana menjadi momen yang indah.

Tidak ada lagi fasilitator yang selalu berorasi ilmiah, tidak ada lagi kesepakatan kelas, yang ada hanya gelak canda tawa diselingi kegaduhan sendok makan mengenai piring hidangan.

Sungguh, merupakan catatan akhir Lokakarya yang pastinya selalu disimpan rapi dalam memori para CGP Kabupaten Manggarai. Keseruan dan ketiadaan sekat antara guru dan murid, antara fasilitator dan calon Guru Penggerak nampak terasa saat sesi akhir kunjungan yakni berfoto ria.

Misi menaklukan Waerebo tuntas setelah tiga jam berada di kampung tanpa jaringan telepon seluler tersebut dan dua jam sisanya dihabiskan untuk kembali menuju titik awal perjalanan penutup Lokakarya Panen Hasil Belajar Calon Guru Penggerak Angkatan 3, Kabupaten Manggarai itu. Bagi ibu Niky dan kedua rekannya, Waerebo memiliki daya pikat yang tiada tara. Kesejukan dan pemandangannya memiliki sensasi yang sulit digambarkan lewat kata pun coretan dawat. Hanya hati yang bening yang mampu melukiskannya lewat senyum kebahagiaan telah menorehkan sejarah menaklukan terjalnya ‘Poco Roko’.

Bagi mereka, fisik bukanlah modal dalam mencapai puncak, tetapi lebih dari itu tekat dan keinginan untuk mengabadikan diri di objek wisata yang mendapatkan gelar warisan budaya dunia pada Agustus 2012 yang lalu oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merupakan modal utama dalam menghadapi rintangan dan terjalnya kisah ‘Poco Roko’. (***)

Bagikan