KPK Gelar RDP Pembrantasan Korupsi Terintegrasi

KUPANG, NTT PEMBARUAN.id–Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Aparat Penegak Hukum dan APIP di Wilayah NTT di Hotel Aston Kupang, Rabu (19/10/2022).

Hadir dalam pertemuan tersebut Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, Kajati NTT, Hutama Wisnu, Kepala BPKP Provinsi NTT, Sofyan Edison, Kepala BPK RI, Perwakilan Provinsi NTT, Slamet Riyadi, Irwasda Polda NTT, Kombes Zulkifli dan Plt. Inspektur Provinsi NTT, Kanisius HM Mau serta peserta perwakilan dari kejaksaan, kepolisian, BPK, BPKP dan APIP.

Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi penanganan perkara tindak pidana korupsi sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 6 UU No.19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kegiatan ini dilaksanakan oleh Direktorat Kooordinasi dan Supervisi Wilayah V, Kedeputian Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK.

Wakil Ketua KPK, Alexander Mawarta,SH, MH menyebutkan, sejak Tahun 2020, KPK membentuk kedeputian bidang koordinasi dan supervisi yang dibagi kedalam lima wilayah kerja dan NTT masuk kedalam wilayah V. Pelaksanan tugas koordinasi dan supervisi tindak pidana korupsi, mengacu pada Peraturan Presiden No. 102 Tahun 2022 yang kemudian diuraikan lebih lanjut dalam Peraturan Pimpinan KPK Nomor 1 Tahun 2021.

Untuk perkara yang disupervisi, Pimpinan KPK mengeluarkan Surat Keputusan tentang penetapan supervisi yang kemudian diberitahukan kepada Pimpinan Polri atau Kejaksaan.

Dalam pelaksanaan supervisi, tim KPK dapat didampingi oleh perwakilan dari Bareskrim Polri dan Jampidsus Kejaksaan Agung RI.

Pelaksanaan tugas supervisi dilakukan dalam bentuk pengawasan, penelitian dan penelaahan.

Lebih lanjut Alex menjelaskan, selain fungsi supervisi, KPK juga memiliki tugas koordinasi penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Dalam hal ini, KPK berwenang untuk menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. “Sebetulnya KPK sudah membangun platform pelaporan SPDP secara online melalui e-spdp. Akan tetapi dari data yang ada, sampai dengan triwulan III 2022, SPDP yang disampaikan oleh Polda NTT dan Kejaksaan belum semuanya diinput ke sistem. Dari 14 SPDP yang disampaikan oleh Polda NTT, baru 10 yang diinput. Demikian juga dengan Kejaksaan, hanya 17 SPDP yang sudah diinput dari total 39 SPDP yang diterima dari Kejati NTT. Padahal sistem ini bisa menjadi data base dalam memonitor perkembangan tindak pidana korupsi,”urai Alex. Dia berharap, ke depannya platform ini bisa dimanfaatkan secara optimal dan bisa menjadi data base bersama lintas APH dan sangat bermanfaat untuk mempermudah koordinasi.

Upaya KPK untuk mengoptimalkan koordinasi dan supervisi penanganan perkara tindak pidana korupsi disambut baik oleh APH dan APIP di wilayah NTT. Koordinasi dan sinergi menjadi hal penting yang harus terus didorong untuk mencegah kerugian dalam pengelolaan keuangan negara.

Sebab, sesuai dengan hasil pemeriksaan BPK sampai dengan semester II Tahun 2021 terdapat 16.757 temuan kerugian daerah yaitu sebesar Rp 527,45 miliar.

“Dari pemeriksaan BPK, terdapat 3 kasus kerugian daerah di NTT yakni kerugian daerah yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, kerugian daerah yang masih dalam proses pembebanan dan kerugian yang masih dalam proses TGR berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK dan pengawas internal, sisa kerugian daerah yang belum disetorkan sebesar 50,74%”, papar Slamet, Kepala BPK RI Perwakilan Provinsi NTT.

Semangat untuk bersinergi dalam memberantas korupsi, harus dihadirkan dalam berbagai kerja bersama yang dilakukan oleh APH dan auditor serta pengawas internal sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Polda NTT menyampaikan bahwa di Tahun 2022, pihaknya sudah melakukan penyelamatan keuangan negara dari 10 perkara yang ditangani dengan nilai penyelamatan keuangan negara sebesar Rp 3,12 miliar, namun ini belum optimal karena masih ada 22 perkara yang sedang ditangani oleh Polda NTT dan jajarannya dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 44,24 miliar.

Selain itu, masih ada perkara yang belum bisa diselesaikan karena objek perkara berada di luar wilayah NTT dan ada perkara yang masih terjadi perbedaan pendapat antara penyidik dan jaksa peneliti, sehingga perkara menjadi bolak balik P-19 jelas Zulkifli.

Selain itu, Kejaksaan juga menyampaikan bahwa terdapat sejumlah permasalahan yang menjadi penyebab berkas perkara dinyatakan tidak lengkap.

“ Adanya perbedaan penafsiran terhadap suatu pasal dalam ranah hukum serta pengumpulan dan pengajuan alat bukti dan perbedaan pendapat dalam perhitungan keuangan negara sehingga mempengaruhi penilaian terhadap kelengkapan berkas perkara. Pertemuan ini menjadi penting untuk menyamakan pendapat dalam perhitungan kerugian keuangan negara,” papar Hutama.

Terkait perhitungan keuangan negara, BPK dan BPKP siap bersinergi dengan aparat penegak hukum.

“ Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang, serta BPK dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah.

BPK juga berwenang memantau penyelesaian ganti kerugian negara/daerah dan tuntutan perbendaharaan.

Selain menjadi mitra dalam pencegahan korupsi, BPKP juga menjadi mitra APH dalam perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus korupsi.

Sampai dengan September 2022 , BPKP sudah menyelesaikan 6 Laporan Hasil Audit perhitungan kerugian keuangan negara. Kami juga sudah memberikan 6 kali keterangan ahli kepada penyidik dan keterangan pada persidangan kasus korupsi sebanyak 5 kali, sebut Sofyan.

Di akhir acara, Wakil Ketua KPK , Alexander Marwata menekankan bahwa koordinasi dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih penanganan perkara dan pendakwaan yang berulang pada kasus yang sama oleh Aparat Penegak Hukum yang berbeda.

Koordinasi juga dimaksudkan agar proses penanganan perkara bisa lebih optimal, termasuk dalam menyelamatkan keuangan negara.

Ada tiga lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi yakni KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Jangan sampai terjadi disaparitas dalam penanganan korupsi yang dapat berdampak pada tidak optimalnya penegakan hukum dan penyelamatan keuangan negara.

Karena itu, kegiatan koordinasi menjadi hal penting yang harus terus dilakukan untuk menyamakan persepsi penanganan korupsi yang profesional dan efektif, pungkas Alex. (red/*)

Bagikan