Ano, Penderita Lumpuh Layu yang Pantang Pasrah

SABAN hari Yatria Tno Geovani Jemadu, terbaring kaku di ruang tengah rumahnya.
Putra ketiga dari pasangan Kosmas Pandur dan Biata Wawut itu mengalami penderitaan lumpuh layu semenjak ia duduk di bangku Kelas II Sekolah Dasar (SD).

Sejak saat itu, Ano biasa ia dipanggil, hanya terbaring lemah di rumahnya.
Setiap hari ia hanya mampu menatap halaman melalui pintu rumah yang selalu terbuka lebar.

Tatapannya kadang menembus halaman rumah yang sempit dan dihalangi beberapa pepohonan.

Tatapan itu kadang hampa, kadang pula penuh asa. Asa akan kesembuhan dari derita panjang yang dia alami, asa akan menggapai harapan dan cita-cita yang lama dia pendam. Sesekali, berteriak memohon pertolongan pada ayah atau ibunya untuk sekedar membalikkan atau mengubah posisi badannya yang kian hari kian rapuh dan tak berdaya.

Kondisinya kian memilukan, kaki dan tangannya tinggal tulang berbalut kulit.
Jemarinya bahkan tak sanggup lagi menari indah di atas handphone pemberian Suster Christine yang selalu menyempatkan diri datang menghibur dirinya agar tetap yakin dan percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan.

Penguatan Suster Christine dan doa dari Pastor Steve, Pastor Paroki Narang nampak telah memberikan kekuatan bagi Ano dalam menghadapi sakit yang dideritanya. Senyum kebahagiaan selalu terpancar dari wajahnya kepada setiap orang yang datang ke rumahnya.
Senyumnya mengalahkan goresan kesedihan bagi orang yang mengunjunginya.

Hal itu dialami oleh Dokter Veni saat mengunjungi beliau kemarin. Dokter yang bertugas di Puskesmas Narang tersebut menyempatkan diri mendatangi Ano, untuk melihat lebih dekat kondisi yang dialami Ano.

Sapaan dan senyumannya mengembang menghiasi senja yang kini mulai nampak di Kampung Pongpahar, Desa Hilihintir, Kecamatan Satarmese Barat.

Tidak nampak keletihan, dan tidak nampak kesedihan di raut wajahnya yang masih kelihatan polos.

Ano yang sudah menderita lumpuh layu sejak Tahun 2013 bahkan terlihat masih semangat untuk mengisahkan perjalanan panjang derita yang dia alami.

Dokter yang ramah dan murah senyum itu mendengar dan menyimak sambil sesekali tertegun menyaksikan kondisi Ano.
Sejenak, dia merogoh kresek yang tersimpan rapi di samping tempat duduknya. Mengeluarkan sfigmomanometer dan stetoskop untuk memeriksa kondisi Ano. Dokter Widia, dokter gigi yang menemani dokter Veni lebih banyak diam menyaksikan kondisi fisik Ano.

Tekanan darahnya normal, detak jantungnya nampak normal pula. Namun otot kaki dan tangan Ano, nampak sebagian sudah tidak berfungsi dengan baik. Bahkan tulang punggungnya kini bengkok mengikuti posisi Ano berbaring.

“Tekanan darahnya bagus. Tekanannya normal. Ano, coba genggam tangan saya semampu kamu. Ya, seperti itu”, ucap dokter Veni saat mendiagnosa Ano.
Dokter Veni memeriksa dengan teliti bagian kaki dan tangan Ano, sesekali dia memijit ringan dan menggerakkan kaki dan tangan Ano.

Kata dokter, ototnya telah kaku dan menyusut karena tidak pernah digerakan.
Dia menyarankan kedua orangtuanya untuk selalu memijat dan menggerakkan kaki dan tangan Ano agar tidak kaku dan menghindari kerusakan yang lebih parah baik otot maupun tulang kaki dan tangan Ano.

Dokter juga merekomendasikan, Ano diberikan asupan gizi yang memadai agar sedikit bisa membantu pemulihannya.
“Oke Ano, saya urut ya, kalau sakit bilang dokter. Mama, harus biasakan diurut seperti ini ya mama. Biar ototnya tidak kaku. Kalau bisa setiap hari sebelum ia mandi, kaki dan tangannya diurut seperti ini, jangan terlalu keras dan usahakan rutin ya mama. Pola makannya juga kalau bisa memenuhi gizinya. Karena pola makan dan asupan gizi akan sangat membantu”, terang Dokter Veni.

Orangtua Ano, yang menopang hidup dengan buruh harian terdiam dan hanya mampu menarik napas panjang.
Kondisi ekonomi keluarga Ano sangat prihatin. Ayahnya yang seharusnya menjadi penopang hidup keluarga mengalami pembengkakan pada kaki dan tangan kananya nyaris kaku.

Mama Biata satu-satunya menjadi sandaran untuk mencari nafkah sesekali bergumam. Mengharapkan uluran tangan dan bantuan dari orang yang berbaik hati adalah doa terbaik yang bisa dia ucap.

“Dokter, kami ini hanya bisa memberi dia makan apa adanya. Mau urus dia juga agak setengah mati dokter. Karena saya sudah yang harus cari uang. Bapanya ini sakit juga. Jadi, kalau saya pergi kerja kadang dia dengan bapanya saja di rumah, ucap mama Biata merespon saran dokter.

Mama Biata lebih banyak pasrah. Mama Biata lebih banyak mengeluhkan kondisi putranya yang kian hari kian rapuh. Mama Biata banyak mengisahkan perjuangan keluarga untuk menyembuhkan Ano dari pada menjawab saran dan rekomendasi dokter untuk memenuhi asupan gizi bagi putranya.

Sesekali tangannya membelai dan mengurut kaki dan tangan anaknya.
Namun demikian, mama Biata mengucapkan terima kasih atas kunjungan Dokter Veni. Mama Biata dan keluarga sejauh ini sangat kesulitan untuk mendapatkan sentuhan medis terhadap anak mereka. Kehadiran Dokter Veni dan rekannya bagi mama Biata, bagaikan embun yang memberikan ksejukan di tengah dahaga panjang keluarganya.
Berkali-kali mama Biata dan papa Kos, kedua orangtua Ano menyampaikan terima kasih banyak kepada dokter yang telah datang melihat dan memberikan obat kepada anak mereka.

“Dokter, terima kasih banyak. Terima kasih sudah datang melihat Ano. Terima kasih obatnya dokter. Minta maaf, kami tidak punya apa-apa. Tidak sempat dibuatkan minum,” kata mama Biata usai dirinya menerima obat yang diberikan Dokter Veni.

Sementara, Ano yang masih pada posisi baring hanya membalas kemurahan hati Dokter Veni dengan senyum khasnya.
Senyumnya tetap memancarkan semangat dan harapan akan hari esok yang lebih baik bagi dirinya.

Senyumnya masih memancarkan keyakinannya bahwa di luar sana, jauh dari jangkauan tatapannya lewat pintu rumah masih banyak orang yang dapat memberikan hiburan dan kekuatan baginya untuk tetap sabar menghadapi derita yang dia alami.(fon/*)

Bagikan