KUPANG, NTT PEMBARUAN.id- Divisi Gender Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang bekerjasama dengan AJI Indonesia dan Norsk Journalistlag menggelar pelatihan gender bagi pekerja pers di Kota Kupang dengan tema, Pelatihan Gender dan Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan.
Kegiatan yang diikuti 20 peserta jurnalis dari berbagai media di Kota Kupang itu dibuka secara resmi oleh Ketua AJI Kota Kupang, Marthen Bana di Hotel Neo Aston Kupang, Sabtu (1/10/2022).
Kegiatan ini akan berlangsung selama dua hari, terhitung sejak Sabtu, 1 Oktober 2022 sampai dengan Minggu, 2 Oktober 2022.
Hadir dalam kegiatan itu, Anggota Devisi Gender, Anak dan Marginal AJI Indonesia 2021-2024 sekaligus Komisi Etik AJI Kota Kupang, Ana Djukana, Ketua Divisi Gender, Perempuan dan Anak AJI Kupang, Retno Irawati bersama rekannya, Linda Makandolu.
Ketua AJI Kota Kupang, Marthen Bana saat membuka kegiatan itu menjelaskan, bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan lanjutan yang sudah dilakukan AJI Kota Kupang dalam rangka mendukung keselamatan kerja para jurnalis perempuan.
Salah satu tujuan dari kegiatan ini,kata Bana, untuk meningkatkan kapasitas tidak saja bagi anggota AJI, tetapi juga teman-teman jurnalis lainnya, baik pria maupun perempuan.
Pelatihan seperti ini, menurut dia, sangat penting bagi pekerja pers, untuk menjaga keselamatan para jurnalis saat melakukan peliputan di lapangan sekaligus mencegah terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

Sementara itu, Anggota Devisi Gender, Anak dan Marginal AJI Indonesia 2021-2024, dan Komisi Etik AJI Kota Kupang, Ana Djukana mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis perempuan merupakan ancaman bagi jurnalisme dan kebebasan pers.
Djukana yang hadir sebagai narasumber saat itu mengatakan, sudah saatnya jurnalis perempuan menulis kekerasan terhadap perempuan,dan jurnalis perempuan juga kerap mengalami kekerasan. Sesungguhnya kekerasan terhadap jurnalis perempuan ancaman bagi jurnalis dan kebebasan pers.
Survei yang dilakulkan AJI pada Agustus 2020 yang diikuti 34 jurnalis perempuan dari berbagai kota ditemukan laporan penelitian (survei dan wawancara) yang dilakukan pemantau regulasi dan regulator media pada Agustus 2021 menemukan 1.256 jurnalis perempuan dan yang menjadi responden sebanyak 1.077 responden (85,7%) pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka , baik di ranah digital maupun ranah fisik meliputi, 70,1% ranah digital dan ranah fisik , 7,9% mengalami kekerasan digital, 7,8 % kekerasan fisik dan 14,3% tidak pernah mengalami kekerasan.
Jenis kekerasan terhadap jurnalis, body shaming 59 %, komentar menganggu, melecehkan bersifat non seksual 48 %, komentar body shaming secara daring 45 %, ancaman atau pelecehan lisan bersifat seksual 40 %, ancaman atau pelecehan lisan non seksual 37 %, komentar menganggu /bersifat seksual daring 34 %, diskriminasi gender di tempat kerja 32, penyebaran mis informasi fitnah secara daring 22 % dan serangan fisik bersifat seksual 22 %.
Respon 272 responden di luar responden yang mendiamkan, ada beberapa cara responden menanggapi kasus kekerasan yang dialami. 52 % melaporkan ke pihak yang berwajib, 29 % melaporkan ke organisasi terkait, dan 19 % mengajukan tuntutan hukum.
Lebih lanjut Djukana mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis perempuan akan menimbulkan ketakutan dan traumatik bagi jurnalis perempuan sehingga ke depan jurnalis perempuan memilih untuk tidak melanjutkan menekuni profesi.
Kata Djukana, karena tidak ada jaminan keamanan bagi jurnalis perempuan, sedikit perempuan yang berminat menjadi jurnalis.
Anggota AJI sangat sedikit jurnalis perempuan. Sedikitnya jurnalis perempuan akan berdampak pada pemberitaan-pemberitaan yang tidak sensitif perempuan dan gender. Dengan demikian upaya untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender menjadi sesuatu yang rumit.
Karena selama ini jurnalis melalui tulisan-tulisannya, lanjut dia, mampu mencerahkan publik dan membawa perubahan sosial, khusunya dalam masyarakat yang patriaki , dimana mengutamakan laki-laki.
Meski ada laki-laki yang menulis kebutuhan perempuan akan lebih detail menulisnya karena jurnalis perempuan mempunyai pengalaman dan kebutuhan yang berbeda dengan jurnalis laki-laki.
Untuk meminimalisasi kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan, pertama, secara internal perusahaan atau organisasi harus ada SOP pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap jurnalis perempuan, dan kedua, secara eksternal kampanye di publik untuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan, dan berani melaporkan pelaku untuk proses hukum supaya ada efek jera, sebut Djukana. (red)