Categories Daerah Humaniora

Penentuan Mutu Pendidikan Tidak Saja Dilihat dari Nilai

KUPANG, NTT PEMBARUAN.id – Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. H. Muhamad Irfan,MM mengingatkan semua sekolah di Nusa Tenggara Timur (NTT) bahwa nilai bukanlah satu-satunya indikator penentuan mutu pendidikan.

Penentuan mutu pendidikan itu merupakan akumulasi dari semua aspek, seperti nilai, karakter anak didik, moralitas anak, tau menghargai orangtuanya, saudaranya, dan guru-gurunya, sebut Irfan menjawab wartawan media ini di kantornya, Kamis (11/4/2019)  terkait penentuan mutu pendidkan.

Bagi dia, nila bukanlah satu-satunya indikator penentuan mutu pendidikan. Tetapi, yang paling penting adalah bagaimana  menghasilkan anak-anak bangsa yang berkarakter, bermoral, anak-anak yang mencintai orangtuanya, mencintai saudaranya, mencintai daerahnya, dan memiliki ketrampilan.

Ikut mendukung keberhasilan anak-anak itu, seperti tingkat kehadirannya di sekolah, semangat untuk bersekolah, kesadaran anak untuk bersekolah, dan anak itu sendiri harus  merasakan bahwa sekolah itu bagian yang tidak terpisahkan dari hari-harinya.

Tidak Boleh Dipaksakan

Mantan Kepala LPMP Nusa Tenggara Barat (NTB) ini juga mengingatkan kepada sekolah-sekolah di setiap jenjang pendidikan di NTT untuk tidak boleh memaksa memberlakukan lima hari sekolah jika situasi dan kondisi di sekolahnya belum memungkinkan.

Kata Irfan, building school itu sudah diwacanakan beberapa tahun yang lalu. Sistem seperti itu, menurut dia, sudah diterapkan di sekolah-sekolah misi selama ini. Namun, untuk sekolah-sekolah umum implementasinya tergantung pada situasi dan kondisi sekolahnya masing-masing.

“Kalau sekolahnya sudah siap,  ya silahkan diterapkan. Tetapi, kalau belum siap jangan dipaksakan. Takutnya nanti akan merugikan anak-anak kita dari segi pembiayaan. Misalnya, biaya makan, minum, dan pengaturan waktunya,” sebut dia.

Pemberlakuan lima hari sekolah itu, masuk jam 07.00 Wita hingga pukul 15.00 Wita (jam 3 petang,red). Jika ini diterapkan, maka perlu dibuat pengaturan waktu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), sehingga tidak monoton di dalam kelas.

Misalnya, anak-anak mengikuti KBM di dalam kelas dari jam 07.00 -13.00 Wita. Selanjutnya, pukul 13.00 Wita, anak-anak dipulangkan untuk makan di rumahnya masing-masing. Selanjutnya, pukul 14.00 – 15.00 Wita anak kembali ke sekolah tidak dalam bentuk tatap muka di dalam kelas, tetapi dibawa ke suasana alam di luar kelas.

Misalnya, membawa anak-anak ke tempat-tempat ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing untuk mendengarkan siraman rohani. Semua  rangkaian kegiatan itu, menurut  dia,  harus terkafer dalam KBM di sekolah, sehingga siswa tidak cepat jenuh.

Contoh lainnya lagi, pada jam sore hari membawa anak-anak  ke Taman Budaya untuk memperkenalkan budaya NTT khususnya, dan budaya nusantara pada umumnya, sehingga mereka mengetahui adat istiadat semua daerah di Indonesia.

KBM itu, bagi dia,  tidak saja dalam bentuk  tatap muka di dalam kelas, tetapi bisa juga di luar kelas seperti di Gereja, Masjid, Pura, Taman Budaya,  Museum, atau  belajar dengan melihat alam, sehingg tidak kelihatan jenuh dan semuanya  sudah terjadwal oleh sekolah. (ade)

Berita Terbaru