KUPANG, NTT PEMBARUAN.id – Ada 24 indikator yang mengukur keberhasilan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) yang dikelompokan dalam lima klaster, yakni klaster I,tentang hak sipil dan kebebasan, klaster II, tentang pengasuhan keluarga dan lingkungan keluarga, klaster III, tentang kesehatan dan kesejahteraan, klaster IV, tentang pendidikan dan pemanfaatan.
“ Apabila klaster I-IV ini anak-anak terpenuhi haknya, maka kecil kemungkinan anak itu masuk ke klaster V, yaitu perlindungan anak,” kata Sri Martani Wahyu Widiyati,SE,MM, Kepala Bidang Hak Sipil Informasi Layak Anak Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kepada media ini di Kupang, Jumat (12/7/2019).
Anak-anak yang masuk pada klaster V ini adalah anak-anak yang perlu mendapat perlindungan khusus, seperti anak-anak yang bermasalah hukum, anak-anak yang dieksploitasi, baik secara ekonomi maupun aspek lainnya.
“Anggaran dari kita lebih tertuju di klaster V ini. Kalau untuk pencegahannya dari klaster I-IV saja. Anak-anak kita bertumbuh secara positif dia bisa hidup secara mandiri dan berkwalitas,” kata Ani.
Yang dimaksukan dalam pengelompokan anak adalah anak—anak yang mulai dari usia kandungan ibunya hingga 17 tahun atau sebelum usia 18 tahun sudah mendapat perlindungan berupa pemenuhan hak-haknya.
Misalnya, anak yang masih dalam kandungan ibunya, hak-haknya yang harus dipenuhi, seperti kesehatan bayi, dan gizi ibu hamil yang sangat membutuhkan peran suaminya dalam rumah tangga.
Selanjutnya, kalau sudah anak lahir langsung tercatat di Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan akte kelahiran, sehingga tidak mengalami kesulitan ketika memasuki dunia pendidikan ke depan.
Begitupun kalau anak-anak memasuki usia bermain, perlu ada perlengkapan alat peraga permainan. Dalam hal ini, dibutuhkan peran ayah, dan ibu dalam keluarga terutama melakukan pengawasan anak-anak di rumah.
Kata Ani, keluarga adalah fondasi yang paling utama dalam mengasuh anak-anak. Misalnya, kalau ada anak-anak yang menghabiskan waktunya hanya dengan bermain, maka tugas orangtua mengingatkannya untuk memanfaatkan waktu lain, seperti belajar, berdoa, dan beristirahat.
“Saya yakin, kalau anak –anak sudah dibiasakan hidup disiplin dalam hal mengatur waktu sejak kecil, maka akan terbawa hingga dia memasuki usia dewasa. Sebaliknya, kalau orangtua tidak peduli dengan kehidupan anaknya, maka rentan sekali anak itu menjadi korban kekerasan. Karena itu, harus ada pusat pembelajaran keluarga,” kata Ani.
Ani mengatakan, hak-hak anak-anak itu harus dipenuhi, baik secara gizi jasmaniah maupun rohaniah. Memang idealnya, menurut dia, sejahtera itu diukur dari gizi lahiriah, tetapi jiwanya atau psikologinya juga harus diperhatikan oleh orangtua.
Naluri orangtua itu harus ada, dan peka terhadap pertumbuhan anak-anaknya mulai dari dalam rumah, lingkungan tempat tinggal, dan tempat anak itu disekolahkan.
Ia juga mengingatkan para orangtua, untuk selalu mengawasi anak-anaknya, terutama dalam menggunakan teknologi, seperti handphone, agar jangan salah digunakan untuk kepentingan negatif yang dapat merusak mental anak ke depan.
Prinsipnya, kata dia, anak-anak itu bisa berubah, jika pola pendekatan yang dilakukan orangtua sifatnya persuasif, jangan merendahkan martabatnya, sehingga mereka (anak-anak,red) tersebut tetap percaya diri dan pada akhirnya menjadi anak-anak yang patuh kepada orangtuanya. (ade)