Oleh : Sil Joni, Warga Langkas, Manggarai Barat
BOLEH jadi, mayoritas perokok bukan kelompok buta huruf’. Meski melek aksara, tidak berarti tulisan yang tertera pada bungkusan rokok soal larangan dan bahaya merokok, bisa menghentikan kebiasaan ‘mengisap cerutu’ itu. Itu berarti persoalannya bukan pada kapasitas membaca dan kedalaman pemahaman tentang efek negatif rokok, tetapi bergantung pada mental atau lebih tepat kesadaran masing-masing individu.
Merokok dapat menyebabkan gangguan jantung, gangguan kehamilan, impotensi dan penyakit akut lainnya.
Kalimat peringatan semacam itu sepertinya tidak terlalu efektif untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Para konsumen rokok tak terlalu peduli dan gubris dengan himbauan demi himbauan, baik dari pemerintah maupun dari otoritas medis
Paradoks
Keprihatinan dan kepedulian pemerintah terhadap kesehatan jasmani masyarakat terekam jelas dalam peringatan yang tertera dalam kemasan rokok pabrik.
Para pengambil kebijakan tak ingin warganya penyakitan dan mati sia-sia gara-gara mengisap nikotin setiap hari.
Masyarakat yang penyakitan tentu memengaruhi tingkat produktivitas dan kreativitas sebuah bangsa.
Karena itu, politik kesehatan coba digagas dan diimplementasi yang terartikulasi dalam bentuk larangan politis pada kemasan rokok tersebut.
Tetapi, peringatan politis itu kontradiksi, tidak saja pada level teoretis, tetapi terlebih pada level aksi (contradictio in actu). Mengapa? Rasanya aneh, apa yang dipersepsi sebagai sumber bencana (merusak kesehatan badan), justru produktivitasnya meningkat dari tahun ke tahun.
Kenyataan paradoksal ini seolah membenarkan asumsi bahwa peringatan itu hanya akal-akalan pemerintah.
Political will untuk menjabarkan secara konsisten ‘politik kesehatan’, belum terlihat atau masih sebatas retorika.
Bisa jadi, larangan itu bukan sebagai agenda politik serius, tetapi hanya sekadar selingan dalam aktivitas memproduksi rokok.
Tidak terlalu sulit untuk menebak betapa sulitnya pemerintah keluar dari jebakan paradoksal ini. Rasanya mustahil bagi pemerintah mencabut izin produksi rokok karena perusahaan-perusahaan rokok menjadi mitra strategis sehatnya politik keuangan negara.
Kontribusi perusahaan rokok melalui pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) untuk negara, sangat tinggi.
Jika izin produksi dicabut, maka risiko defisit anggaran bakal menghadang negara. Boleh jadi, postur APBN kita mengalami kepincangan. Tentu, ini sebuah kerugian yang besar pengaruhnya.
Jadi, pemerintah tidak punya alternatif lain dalam menghadapi kondisi dilematis semacam itu. Peringatan yang menempel pada bungkusan rokok hanya sekadar pelipur lara, bahwa pemerintah masih sangat peduli dengan kesehatan raga warganya.
Tetapi, sebetulnya, pemerintah tak berdaya dalam menghadapi dominasi dan penetrasi para kapitalis dalam ruang publik.
Merokok, antara Madu dan Racun
Saya kira, para perokok tahu persis bahwa dalam sebatang rokok yang diisap itu, hadir secara serentak unsur nikmat dan laknat, berkat dan kutuk, madu dan racun. Pengetahuan semacam itu, bisa jadi diperoleh dari data publikasi atau pelbagai propaganda anti-rokok dari lembaga yang concern terhadap persoalan merokok. Namun, pencerahan pada taraf kognitif, tidak menyurutkan niat mengisap zat beracun itu.
Alasan yang dikemukakan untuk membenarkan aktivitas merokok itu cukup variatif atau berbeda setiap orang. Argumentasi mereka umumnya masuk akal, tetapi ada juga yang terkesan mengada-ada dan irasional.
Pertama, ada yang melihat rokok sebagai ‘pemantik gairah hidup’. Bagi kelompok ini, rokok dianggap sebagai ‘dewa pemecah kebuntuan atau kepenatan’ dalam hidup. Hanya dengan menyulut sebatang rokok, situasi kepenatan sirna dan kita semakin bergairah dalam beraktivitas.
Saya berpikir, argumentasi di atas tidak mempunyai basis epistemologis yang valid. Terjadi semacam ‘misuderstanding’ tentang ‘kegairahan hidup’.
Semestinya, kita bisa membedakan antara ‘kegairahan dan kenikmatan’.
Merokok sebenarnya dilihat sebagai sarana mendapatkan ‘kenikmatan palsu’ berhadapan dengan persoalan hidup yang menumpuk. Itu berarti merokok merupakan aktivitas pelarian (eskapisme), bukan sumber pembangkit energi yang lesu akibat diterpa kemelut hidup.
Kedua, alasan yang bersifat kultural. Rokok dianggap sebagai instrumen mempererat keakraban saat berkomunikasi dengan lawan bicara. Pembicaraan semakin hangat dan seru bila ditemani sebatang rokok dan secangkir kopi. Penyuguhan rokok kepada tamu dinilai sebagai tanda keramahan dan kesantunan dalam pergaulan.
Tegasnya, merokok menjadi bagian dari aktivitas kultural.
Substansi ‘makan’ budaya terdistorsi secara gamblang dalam cara berpikir di atas.
Budaya, sebenarnya tidak bisa direduksi hanya pada unsur kebiasaan segelintir orang.
Selain itu, kebudayaan itu bersifat dinamis. Sebuah kebiasaan yang berefek destruktif, tidak bisa lagi dipertahankan dan dianggap sebagai budaya yang diterima begitu saja kebenarannya.
Ketiga, ada juga yang menganggap merokok sebagai aktivitas iseng atau sebuah kesenangan dan bahkan hobi. Saya kira, alasan itu berangkat dari kekeliruan memahami aktualisasi diri lewat hal-hal destruktif dan pencarian diri melalui pergaulan dengan zat beracun. Kesenangan personal dimanipulasi untuk menjustifikasi perbuatan buruk itu.
Keempat, merokok diasosiasikan dengan ‘kejantanan’. Merokok dicitrakan sebagai aktivitas dan selera para ‘pria pemberani’ seperti yang sering ditayangkan dalam pelbagai iklan di media massa saat ini. Kaum kapitalis berhasil menawarkan sebuah kesadaran palsu pada konsumen.
Padahal, citra yang dikonstruksi oleh media iklan itu, bersifat bohong belaka. Kejantanan dan keberanian itu tidak ditentukan oleh seberapa banyak rokok yang kita isap, tetapi dari sumur kehendak dan integritas diri seseorang.
Kelima, ada juga yang menganggap rokok sebagai ‘istri kedua’. Alasan ini rasanya ‘terlalu ekstrem’. Bagi orang dengan tipe semacam ini, aktivitas merokok sama pentingnya dengan aktivitas pemenuhan naluri seksual.
Rokok seolah menjadi sisi lain dari dirinya, sama seperti seorang istri yang tidak lain tulang rusuk dari yang bersangkutan.
Di tangan para pemadat, unsur madu, nikmat, dan berkat dari aktivitas merokok, dikultuskan. Bagi mereka, risiko negatif seperti penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan impotensi hanya bualan pihak tertentu. Tingginya angka kematian akibat merokok, tidak membuat nyali mereka kecut.
Selain itu, mereka tidak peduli bahwa betapa egoisnya mereka dalam keluarga. Bayangkan, berapa banyak anggaran rumah tangga yang tersedot hanya untuk melayani kesenangan palsu dari seorang perokok? Berapa banyak orang yang terpapar penyakit akibat dari racun yang disebarkan oleh seorang perokok baik dalam rumah maupun dalam kelompok masyarakat yang lebih luas?
Bagi perokok, berhenti merokok sama artinya menghentikan nafas kehidupan secara perlahan-lahan.
Bahkan ada yang melihat rokok sebagai ‘obat’ untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Ketika dia jatuh sakit, yang disentuh pertama adalah rokok, bukan obat medis dari dokter.
Kendati mereka tahu bahwa sekumpulan racun terus mengendap dalam tubuh ketika sebatang rokok diisap, tetapi pengetahuan semacam itu ‘kalah seksi’ ketimbang sejumlah mitos yang ditawarkan para kapitalis dalam sebatang rokok itu.
Kita lebih terpikat pada mitos, citra, dan propaganda, ketimbang pengetahuan ilmiah yang kredibel.
Sabda saintifik dari ‘otoritas medis’ harus kalah dari bujuk rayu iklan komersial yang setiap saat membombardir aula kognisi kita.(*)